Bisnis.com, JAKARTA - Memanasnya tensi geopolitik di Timur Tengah memperparah tren pelemahan rupiah. Namun, selain akibat capital outflow seiring penguatan dolar AS, kekhawatiran investor atas potensi gejolak pengelolaan kebijakan fiskal Indonesia juga menjadi penyebabnya.
Pengajar Universitas Paramadina sekaligus Co-Founder & Head Advisor Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Wijayanto Samirin melihat bahwa momentum pecah konflik Iran dengan Israel sebenarnya hanya salah satu pemicu pelemahan rupiah secara lebih dalam.
"Depresiasi rupiah trennya sangat kentara. Jadi ada atau tidaknya krisis [sebagai pemicu], kecenderungan melemahnya cukup masif. Bukan hanya karena Timur Tengah, tapi karena ada masalah fundamental," ujarnya dalam diskusi virtual 'Dampak Kebijakan Ekonomi Politik di Tengah Perang Iran-Israel' oleh Universitas Paramadina, Senin (22/4/2024).
Wija menjelaskan bahwa tren pelemahan rupiah mulai terjadi beberapa bulan belakangan, salah satunya karena dunia menganggap pemerintah Indonesia belum bisa memberikan pesan kuat bahwa pengelolaan fiskal akan digelar secara lebih efisien ke depan.
Pasalnya, masalah fundamental dalam pengelolaan fiskal berkorelasi terhadap masalah kepercayaan dunia internasional. Baik itu investor, negara lain, maupun lembaga funding internasional.
"Dalam situasi dunia yang tidak menentu, salah satu langkah paling strategis yang bisa dilakukan adalah memperkuat diri, menjamin trust investor dan dunia internasional. Begitu trust hilang, rupiah bisa sampai Rp20.000 [terhadap USD] pun mungkin terjadi," tambah Wija.
Baca Juga
Secara umum, Wija menyebut ada tiga perkara pengelolaan fiskal di Tanah Air paling fundamental yang menjadi sorotan dunia internasional. Pertama, soal debt service ratio alias rasio antara pembayaran pokok dan bunga utang, dibandingkan dengan penerimaan negara.
Saat ini, debt service ratio Indonesia sudah sekitar 38%, atau lebih tinggi dibandingkan rasio ideal di kisaran 30%. Kondisi di atas level ideal itu sudah berlangsung sejak medio 2016.
"Sering ditampilkan hanya rasio utang terhadap PDB. Padahal itu kurang relevan, dibandingkan debt service ratio. Jangan-jangan, ini salah satu alasan kenapa rating kita tidak membaik, dan kalau kita menerbitkan surat utang, bunganya jadi harus tinggi," ungkapnya.
Kondisi itu terutama disebabkan kondisi high debt level, high interest rate, dan low tax ratio. Akhirnya, begitu berpengaruh terhadap indikator lain yang juga menjadi sorotan, yaitu budget deficit ratio, dihitung dari bagaimana pengeluaran pembayaran bunga dibandingkan pengeluaran modal capex untuk pembangunan.
Saat ini, pengeluaran pemerintah untuk pembayaran bunga mencapai Rp437 triliun atau kisaran 14% dari total government spending. Sementara itu, capex untuk pembangunan hanya Rp259 triliun atau setara 8,2% dari government spending.
"Jadi lebih banyak pengeluaran untuk membayar bunga saja, bahkan hampir dua kali lipat ketimbang anggaran pembangunan. Kenapa? Karena kita makin tergantung pada utang-utang yang mahal," jelas Wija.
Terakhir, Wija juga melihat kecenderungan utang mahal merupakan buah dari ketergantungan mengeluarkan surat utang negara (SUN), terutama obligasi ritel (ORI). Saat ini, nilainya mencapai 90% dari total government bond.
"Menerbitkan ORI itu gampang. Kalau tidak laku tinggal naikkan bunga. Saat ini bunganya SUN sudah 6,4%, dan akhir tahun nanti diperkirakan 6,7%. Kalau pembayaran bunga terus semakin mahal, sementara tax ratio dalam tren makin turun, tentu ruang fiskal ke depan akan semakin sempit," tambahnya.
Selain ruang fiskal yang semakin terbatas, Wija melihat bahwa implikasi dari ketergantungan terhadap sumber utang berbunga mahal adalah tipisnya aliran dana ke sektor riil, terutama dari perbankan.
"Dampak paling destruktif adalah crowding out. Bank kalau memberikan pinjaman ke sektor riil harus kerja keras memitigasi risiko, walaupun misalnya dapat bunga 9%. Jadi akhirnya memilih tinggal beli SUN saja. Saat ini, terlihat sekitar 15%-20% SUN dipegang oleh perbankan," tutupnya.