Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Ambrol ke Rp16.000 per Dolar AS, Ini Deretan Biang Keroknya

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah ke level Rp16.000 per dolar AS pada pekan Lebaran ini. Berikut sederet faktor penyebab pelemahan rupiah:
Karyawan menunjukan rupiah dan dolar AS di Jakarta, Rabu (27/1/2021). Nilai tukar rupiah melemah ke level Rp16.117 per dolar AS/Bisnis-Eusebio Chrysnamurti
Karyawan menunjukan rupiah dan dolar AS di Jakarta, Rabu (27/1/2021). Nilai tukar rupiah melemah ke level Rp16.117 per dolar AS/Bisnis-Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mencatatkan kinerja yang merosot pada pekan Lebaran ini. Adapun, terdapat sejumlah sentimen yang memengaruhi tren pelemahan rupiah.

Berdasarkan data Google Finance, rupiah bercokol di level Rp16.117 per dolar AS hingga saat ini. Rupiah pertama kali menyentuh level Rp16.000 pada perdagangan Rabu (10/4/2024). Pada awal pekan Lebaran, yakni Senin (8/4/2024), rupiah masih berada di level Rp15.913 per dolar AS.

Adapun, jika ditarik mundur mengacu data Google Finance, nilai tukar rupiah terhadap dolar sempat menembus Rp16.000 pada 3 April 2020. Kala itu, nilai tukar mata uang Indonesia menembus Rp16.300 per dolar AS.

Data Google Finance tersebut menunjukkan pergerakan rupiah secara internasional. Sebab, perdagangan domestik pada momen Lebaran sedang libur. 

Mengacu data Bloomberg pada perdagangan terakhir jelang libur Lebaran, yakni Jumat (5/4/2024), rupiah ditutup menguat 44 poin atau 0,28% ke Rp15.848. Sementara itu, indeks dolar terpantau naik 0,11% ke level 104,010.

Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, di tengah liburnya perdagangan domestik, rupiah secara internasional memang melemah hingga mencapai level Rp16.000 per dolar AS. Ia pun memproyeksikan nilai tukar rupiah itu bertahan hingga dibuka kembali perdagangan domestik pada pekan depan, Selasa (16/4/2024).

"Kemungkinan besar nanti dibuka bisa langsung ke Rp16.000 karena fluktuasi di libur panjang ini cukup tinggi,” kata Ibrahim kepada Bisnis, Jumat (12/4/2024). 

Faktor-faktor Penyebab Ambrolnya Rupiah

Ibrahim menyebutkan, terdapat sentimen yang memengaruhi lesunya rupiah. Sentimen misalnya datang dari global saat tren dolar AS yang merangkak naik karena kondisi geopolitik serta data ekonomi AS yang jauh dari perkiraan ekonom.

Selain itu, pasar keuangan saat ini sedang mengantisipasi bahwa The Fed akan menunda kebijakan pemangkasan suku bunga hingga September 2024 mendatang. Sebab, pasar global dikejutkan oleh data inflasi Maret di AS, di mana consumer price index (CPI) AS meningkat lebih dari perkiraan konsensus.

Kondisi itu akibat masyarakat di Negeri Paman Sam terus membayar lebih untuk biaya bahan bakar dan sewa perumahan.

Chief Market Strategist Carson Group Ryan Detrick juga mengatakan, data inflasi yang kaku membuat investor berpikir untuk melakukan aksi jual.

“Kekecewaan itu menyebabkan penolakan tidak hanya pada potensi waktu penurunan suku bunga pertama, tetapi juga berapa banyak penurunan suku bunga yang akan kita dapatkan,” katanya.

Sebelumnya, Chief Economist Citibank, N.A., Indonesia (Citi Indonesia) Helmi Arman juga mengatakan, tren melemahnya rupiah juga terjadi saat dolar AS sedang perkasa terhadap mata uang lainnya. Adapun, perkasanya dolar AS terjadi di tengah ketidakpastian penurunan suku bunga acuan The Fed.

"Pelemahan rupiah saat ini didorong faktor penguatan dolar. Ini menunjukan dolar memang menguat trennya ke kebanyakan mata uang dunia," ujarnya.

Dari dalam negeri, fluktuasi rupiah diwarnai dengan ketidakpastian terkait dengan program-program pemerintahan baru ke depan yang mana banyak pihak menilai cukup agresif sehingga dapat mendorong peningkatan belanja negara cukup signifikan.

Chief Economist PermataBank Josua Pardede mengatakan, penerimaan negara juga cenderung menurun sejalan dengan normalisasi harga komoditas. Data terkini menunjukkan bahwa APBN masih mencatatkan surplus, tetapi jika dibandingkan dengan posisi periode yang sama tahun lalu, surplus cenderung menurun. 

Hal itu memberi kekhawatiran terkait pembiayaan APBN ke depan sehingga memberikan sentimen negatif pada pasar obligasi Indonesia. Tercatat kepemilikan asing di surat berharga negara (SBN) terus menurun dari awal tahun.

Josua menuturkan, tantangan tersebut, baik dari sisi eksternal maupun domestik, akhirnya akan memengaruhi keputusan Bank Indonesia (BI) dalam menentukan waktu dan besaran pemotongan BI rate. 

Terdapat pula risiko inflasi yang meningkat terutama dari sisi harga pangan, akan membuat BI cenderung mempertahankan BI rate pada level saat ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper