Bisnis.com, TANGERANG SELATAN — Literasi dan inklusi pasar modal Indonesia jauh tertinggal jika dibandingkan dengan sektor perbankan.
Guru Besar bidang Ilmu Keuangan dan Pasar Modal Universitas Prasetiya Mulya Lukas Setia Atmaja mengungkapkan berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2022 yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), indeks literasi keuangan Indonesia hanya sebesar 49%
“Artinya, dari 100 orang penduduk, terdapat 49 orang yang memiliki literasi keuangan yang baik. Angka ini masih jauh di bawah negara Asean-5 lainnya. Sementara itu, indeks inklusi keuangan Indonesia adalah 85%. Terdapat gap 36% antara tingkat literasi dan inklusi keuangan,” ujarnya dalam orasi ilmiah pengukuhan Guru Besar di Universitas Prasetiya Mulya bertajuk Menuju Indonesia Emas 2045: Percepatan Peningkatan Literasi dan Tata Kelola Pasar Modal, Selasa (5/3/2024).
Dalam pengukuhan dua guru besar Universitas Prasetiya Mulya, Selasa (5/3/2024), Lukas Setia Atmaja dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Keuangan dan Pasar Modal Universitas Prasetiya Mulya dan Eliot Simangunsong sebagai Guru Besar bidang Ilmu Manajemen Operasi dan Rantai Pasok Universitas Prasetiya Mulya, Selasa (5/3/2024).
Tampak hadir dalam pengukuhan dua guru besar Universitas Prasetiya Mulya, diantaranya investor kawakan Lo Kheng Hong, Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis UI Budi Frensidy, Mari Elka Pangestu, Sofyan Wanandi hingga Harry Tjan Silalahi.
Lukas menambahkan pada 2022, literasi pasar modal hanya 4,1%, sedangkan literasi perbankan mencapai 49%. Sementara itu, inklusi pasar modal tercatat hanya 5,1%, jauh di bawah inklusi perbankan.
Baca Juga
Dia menyebut salah satu faktor yang menghambat perkembangan pasar modal Indonesia adalah persepsi masyarakat bahwa investasi di pasar modal sangat berisiko.
Merujuk survei Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama AC Nielsen Indonesia pada 2015 sebanyak 80% responden menilai investasi saham bernuansa spekulatif, dan mereka tidak mempercayai dananya dikelola oleh perusahaan investasi.
Ironisnya, sambungnya, masyarakat justru lebih percaya investasi bodong berbasis Skema Ponzy. Padahal, Menurut OJK, kerugian yang dilaporkan masyarakat akibat investasi bodong sejak 2017 mencapai Rp140 triliun.
“Investasi bodong ini terus tumbuh subur dari masa ke masa karena literasi keuangan masyarakat yang buruk. Jika dulu orang berpikir memelihara tuyul bisa cepat kaya, kini seiring kemajuan teknologi, peran tuyul-pun digantikan oleh robot trading,” ungkapnya.
Pernyataan Lukas dalam orasi ilmiah pengukuhan Guru Besar Universitas Prasetiya Mulya itu pun memantik tawa sejumlah tamu undangan, termasuk Lo Kheng Hong, investor kawakan berjuluk Warren Buffett Indonesia.
Rendahnya literasi dan inklusi pasar modal ketimbang perbankan, juga ditunjukkan Lukas menyangkut fakta bahwa dana pihak ketiga perbankan sebesar Rp8.200 triliun pada akhir 2023 atau 40% dari GDP Indonesia.
Sebaliknya, penghimpunan dana dari initial public offering (IPO) saham hanya Rp54 triliun dan dari obligasi Rp127 triliun selama 2023. Adapun, dana masyarakat di industri reksa dana tercatat hanya Rp500 triliun di akhir 2023.
Lukas, yang memperoleh gelar PhD in Banking and Finance dari Monash University pada 2007, berharap, ke depan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat lebih mengorkestrasi upaya-upaya edukasi keuangan yang dilakukan oleh empat pilar, yaitu pemerintah, institusi keuangan, institusi pendidikan dan masyarakat.
“Bahkan jika perlu pemerintah bisa membentuk semacam Komisi Literasi dan Edukasi Keuangan seperti di Amerika Serikat yang saat ini dipimpin oleh Secretary of Treasury Janet Yellen. Komisi ini sebaiknya dipimpin oleh Menteri Keuangan dengan anggota meliputi OJK, bursa efek, serta institusi kementrian terkait,” ungkapnya.
Lukas menegaskan kunci utama pengembangan pasar modal adalah peningkatan kepercayaan investor terhadap pasar modal. Untuk itu, percepatan penguatan tata kelola seluruh elemen di struktur pasar modal juga harus segera dilakukan.
Dia ia menyoroti dua hal penting terkait tata kelola pasar modal, yaitu independensi dewan komisaris dan praktik menggoreng saham.
Di Indonesia, untuk mendukung efektivitas pengawasan oleh dewan komisaris, sejak 2000 Bursa Efek Indonesia (BEI) mensyaratkan perusahaan tercatat harus memiliki minimal 30% komisaris independen.
Untuk mengetahui efektifitas komisaris independen, saat krisis, Lukas melakukan riset tentang risiko kejatuhan harga saham (stock price crash risk) selama Pandemi Covid-19 (Setia-Atmaja, 2024) dengan menggunakan sampel 200 perusahaan tercatat dengan kapitalisasi pasar terbesar di BEI selama periode 2020-2022,
Dari hasil risetnya, dia menemukan bahwa semakin besar persentase komisaris independen di dewan komisaris, semakin kecil risiko kejatuhan harga saham (diukur dengan variable NCSKEW dan DUVOL).
“Hasil ini mengindikasikan bahwa komisaris independen meningkatkan kualitas tata kelola perusahaan di saat krisis. Temuan menarik lainnya adalah semakin besar ukuran dewan komisaris semakin kecil risiko kejatuhan harga saham. Selain itu, sejalan dengan strategi value investing, saya menemukan semakin rendah rasio price-to-book value (PBV), semakin kecil risiko kejatuhan harga saham,” ungkapnya.
Untuk percepatan peningkatan tata kelola pasar modal, Lukas pun mengusulkan kepada OJK dan BEI untuk mendorong perusahaan publik di bursa agar memiliki persentase komisaris independen minimal 50%. Hal ini bisa dilakukan dengan pemberian insentif hingga upaya menaikkan syarat minimum 305 komisaris independen menjadi 505 secara bertahap.
Sementara itu, untuk mencegah terjadinya praktik mengoreng saham, Lukas mendorong OJK menyaring secara ketat untuk mencegah perusahaan atau emiten dengan fundamental dan tata kelola buruk masuk ke Bursa Efek Indonesia.