Bisnis.com, TANGERANG SELATAN — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu menyaring secara lebih ketat untuk mencegah perusahaan atau emiten dengan fundamental dan tata kelola buruk masuk ke Bursa Efek Indonesia (BEI).
Guru Besar bidang Ilmu Keuangan dan Pasar Modal Universitas Prasetiya Mulya Lukas Setia Atmaja menyatakan pertumbuhan jumlah IPO emiten yang relatif cepat dapat menurunkan kualitas saham IPO (initial public offering).
“Dengan melakukan penyaringan secara ketat sejak awal, yaitu saat sebuah perusahaan melakukan IPO, dapat meminimalisasi kasus saham gorengan di Bursa Efek Indonesia,” ujarnya dalam pidato ilmiah bertajuk Menuju Indonesia Emas 2045: Percepatan Peningkatan Literasi dan Tata Kelola Pasar Modal saat pengukuhan Guru Besar di Universitas Prasetiya Mulya, Selasa (5/3/2024).
Dalam pengukuhan dua guru besar Universitas Prasetiya Mulya, Selasa (5/3/2024), Lukas Setia Atmaja dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Keuangan dan Pasar Modal Universitas Prasetiya Mulya dan Eliot Simangunsong sebagai Guru Besar bidang Ilmu Manajemen Operasi dan Rantai Pasok Universitas Prasetiya Mulya, Selasa (5/3/2024).
Tampak hadir dalam pengukuhan dua guru besar Universitas Prasetiya Mulya, diantaranya investor kawakan Lo Kheng Hong atau lebih dikenal dengan Warren Buffett-nya Indonesia, Guru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis UI Budi Frensidy, Mari Elka Pangestu, Sofyan Wanandi hingga Harry Tjan Silalahi.
Lukas, yang memperoleh gelar PhD in Banking and Finance dari Monash University pada 2007, meneliti dari 313 saham dari emiten yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama 5 tahun terakhir, terdapat 43% saham IPO yang harganya turun lebih dari 40% dari harga perdana IPO.
Baca Juga
Selanjutnya, sekitar 25% emiten IPO itu harganya berada di level Rp50 alias gocapan atau bahkan kurang. “Saham IPO yang fundamentalnya kurang baik dan dijual overpriced saat IPO akan sangat merugikan investor.”
Lukas, yang juga pendiri dari Hungrystock, komunitas saham beranggotakan lebih dari 800 investor ritel itu, mencatat bahwa Presiden Joko Widodo pernah dua kali memperingatkan OJK untuk mengintensifkan pengawasan terkait praktik menggoreng saham, yaitu pada awal 2020 dan 2023.
Presiden Jokowi, katanya, mengingatkan bahwa kerugian akibat tindakan menggoreng saham bisa sangat masif, seperti aksi goreng saham Adani Group di India yang menimbulkan kerugian hingga Rp1.800 triliun atau seperempat dari GDP India.
Akibatnya terjadi aliran modal keluar dari India karena kepercayaan investor asing menurun, dan nilai mata uang India jatuh. Presiden juga meminta agar tahun 2020 menjadi momentum pembersihan pasar modal dari para manipulator bursa saham.
“Meskipun tidak mudah dibuktikan, ada dugaan bahwa praktik menggoreng saham melalui wash trade, pump and dump dan cornering marak terjadi di bursa saham. Setiap hari kita temukan saham yang mendadak ramai diperdagangkan sehingga harganya melambung tinggi tanpa alasan fundamental yang jelas. Hal ini bisa terjadi berhari-hari sebelum harganya jatuh kembali ke level semula. Hal ini tentu sangat merugikan investor ritel yang membeli di harga pucuk,” jelasnya.
Dia mencontohkan kasus manipulasi saham di BEI yang menghebohkan berupa kasus korupsi dana pengelolaan investasi PT Asabri (Persero) dan PT Asuransi Jiwasraya (Persero), dengan total kerugian mencapai Rp39 triliun.
“Kedua kasus tersebut merupakan puncak gunung es dari praktik manipulasi perdagangan saham di Indonesia,” tegasnya.
Penegakan hukum bagi pelaku kasus ini dan hadirnya UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) diharapkan bisa menjadi momentum bagi OJK dan BEI untuk bergerak lebih cepat dan adil. “Perlu lebih sat set dan tas tes.”
Adapun, Undang-Undang Pasar Modal Indonesia pun secara tegas melarang kegiatan perdagangan efek yang mengandung unsur penipuan (fraud), manipulasi pasar (market manipulation), dan perdagangan orang dalam (insider trading) karena dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pasar modal.
Menggoreng saham atau price rigging terjadi ketika beberapa pihak berkonspirasi mengatur harga saham untuk memperoleh keuntungan di atas kerugian para pembeli saham.
Sejatinya, menurut dia, manipulasi pasar bisa terjadi dalam berbagai cara, mulai dari aksi yang dilakukan insider perusahaan (seperti manipulasi laba di kasus Enron), pengungkapan informasi palsu maupun rumor, hingga hadirnya pemain besar atau bandar yang secara konstan membeli dan menjual saham yang sama dalam jumlah besar.