Bisnis.com, JAKARTA – Revisi aturan yang dijanjikan Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atas aturan buyback saham bagi emiten berpotensi delisting paksa maupun delisting sukarela harus bisa mencari titik tengah dari permasalahan yang terjadi.
Analis Pasar Modal Hans Kwee melihat aturan tersebut dibuat dengan tujuan melindungi dan menekan kerugian investor ritel pada saat sebuah emiten mengalami delisting. Namun, pada praktiknya, kata dia, aturan tersebut menyulitkan karena perusahaan yang mengalami delisting biasanya bermasalah dari sisi keuangan atau tidak adanya saham pengendali.
Alhasil, para emiten tersebut bisa jadi tidak memiliki kecukupan dana untuk melakukan buyback saham.
"Kalau perusahaan ga bisa buyback terus juga ga bisa delisting. Itu kan malah jadi mengurangi efektivitas aturan yang dibuat," terangnya, Senin (12/1/2024).
Oleh karenanya dia menilai diperlukannya upaya otoritas bursa dalam melakukan relaksasi aturan dan menemukan titik tengah atas persoalan tersebut.
"Perusahaan yang jelek bermasalah memang didelisting harus, tapi kalau yang punya kemampuan harus buyback saham mengembalikan uang investor ritel," terangnya.
Baca Juga
Sisi lain dia juga menemukan tidak jarang terdapat investor yang sudah memahami suatu emiten kurang baik kinerjanya tetapi ikut-ikutan berspekulasi. Pada akhirnya mereka juga ikut terjebak.
Sementara itu, Senior Analis Mirae Asset Nafan Aji menjelaskan salah satu ciri ketika tingkat saham pengendali emiten sudah berkurang adalah lebih besarnya persentase pemegang saham dari masyarakat.
"Ini juga sudah ter-pricing kejadian daripada kondisinya pergerakan harga saham yang sudah flat tidak liquid atau stagnan," terangnya.
Dia pun memperkirakan dampak aturan tersebut mesti dilihat terlebih dahulu hasil revisi aturan tersebut.
"Sektor yang terdampak juga relatif karena tergantung penerapan Good Corporate Governance dari masing-masing korporasi dalam menjalankan komitmennya meningkatkan kepercayaannya kepada investor," terangnya.
Dia pun berharap kedepannya apabila terdapat revisi aturan buyback dan delisting saham bisa menitikberatkan kepada investor & pelaku.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi menerbitkan POJK No. 29/2023 tentang pembelian kembali saham (buyback) yang dikeluarkan perusahaan terbuka. Aturan ini menggantikan POJK No. 30/POJK.04/2017. Dalam beleid baru tersebut, OJK berupaya mengatasi kendala implementasi ketentuan mengenai buyback saham dan pengalihan hasil pembelian kembali, yang sebelumnya telah diatur dalam POJK No. 30/POJK.04/2017.
Penerbitan POJK No. 29/2023 juga dilakukan untuk memperkuat aspek keterbukaan informasi dan pengawasan atas pelaksanaan pembelian kembali saham, serta pemenuhan kewajiban pengalihan saham hasil pembelian kembali oleh perusahaan terbuka. Selain itu, juga menyesuaikan ketentuan dengan praktik terbaik yang diterapkan di negara lain dan mengakomodir mekanisme pengalihan saham hasil buyback, yang dalam prakteknya sudah dapat dilakukan tetapi mekanismenya belum diatur secara rinci dalam regulasi.
Melalui aturan baru tersebut, OJK menyatakan buyback saham yang dilakukan oleh perusahaan terbuka wajib diselesaikan paling lama dalam waktu 12 bulan, setelah tanggal Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang menyetujui pembelian kembali saham.
Meski demikian, Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali mengatakan akan melakukan revisi atas aturan buyback saham bagi emiten berpotensi delisting paksa maupun delisting sukarela.
Direktur Bursa Efek Indonesia Iman Rachman mengatakan Bursa dan OJK sedang mengkaji aturan POJK yang mengatur pemegang saham pengendali harus melakukan buyback saham yang dimiliki publik.