Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Hampir Rp16.000, Depresiasi Rupiah Masih Lebih Rendah Ketimbang Negara Lain

Bank Indonesia menilai depresiasi rupiah masih rendah dibandingkan dengan negara utama atau emerging market lainnya.
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) Bank Indonesia Erwindo Kolopaking (kiri), Direktur Departemen Pengelolaan Moneter (DPM) Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso (kanan) dalam Editors Briefing di Raja Ampat, Papua Barat, Sabtu (11/11/2023)/Bisnis-Annisa S. Rini
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) Bank Indonesia Erwindo Kolopaking (kiri), Direktur Departemen Pengelolaan Moneter (DPM) Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso (kanan) dalam Editors Briefing di Raja Ampat, Papua Barat, Sabtu (11/11/2023)/Bisnis-Annisa S. Rini

Bisnis.com, RAJA AMPAT - Tekanan suku bunga global tinggi berdampak pada pelemahan sejumlah mata uang, termasuk rupiah selama beberapa waktu terakhir. Namun, ternyata depresiasi rupiah tercatat masih lebih rendah dibandingkan dengan mata uang negara lain.

Ramdan Denny Prakoso, Direktur Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, mengatakan usai pandemi perekonomian Amerika Serikat mengalami penguatan dan kebijakan moneter yang diambil ketat, seperti terus menaikkan suku bunga untuk mengimbangi inflasi tinggi. Terlebih, bank sentral AS Federal Reserve kemungkinan masih akan menaikkan suku bunga kembali dan menggaungkan higher for longer.

"Ini yang mendorong indeks dolar cenderung menguat. Kalau indeks dolar menguat, hampir bisa dipastikan mata uang lain melemah," ujarnya dalam Editors Briefing di Raja Ampat, Sabtu (11/11/2023).

Tak hanya itu, yield treasury 10 tahun US juga sempat menembus 5,017% saat rupiah mendekati Rp16.000 per dolar AS, di mana yield ini merupakan angka tertinggi sejak 2003. Ramdan menyebutkan saat yield menembus level 5%, sebagian besar investor asing melepas aset surat berharga di negara luar AS sehingga mata uang melemah terhadap dolar, termasuk rupiah.

Namun, depresiasi rupiah masih rendah dibandingkan dengan negara utama atau emerging market lainnya. Berdasarkan data BI, secara tahun berjalan rupiah melemah -0,52%.

Sementara, negara emerging market lainnya mengalami depresiasi yang lebih besar, seperti bhat Thailand sebesar -2,77%, ringgit Malaysia sebesar -5,94%, dan lira Turki yang sebesar -34,28%.

Beberapa mata uang negara G-10 juga mengalami depresiasi yang lebih dalam, seperti dolar Kanada sebesar -1,73%, dolar Australia -6,03%, dan yen Jepang -13,15%.

Menurut Ramdan, hal itu mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia yang masih kuat, di antaranya pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan negara lain.

"Inflasi juga relatif terjaga, kinerja ekspor impor masih bagu, defisit anggaran sangat terkendali, dan sosial politik juga masih terkendali," ujarnya.

Adapun, dengan melihat perkembangan ekonomi global, selalu berinovasi merilis instrumen baru untuk menarik aliran modal masuk dan mengembangkan pasar uang dalam negeri.

Salah satunya dengan meluncurkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) pada 17 September 2023, yang akan diikuti dengan penerbitan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI).

"BI akan meluncurkan sekuritas lagi [setelah SRBI], yaitu SVBI. Tujuannya sama, untuk mengembangkan pasar valas domestik dan untuk attract inflow," kata Ramdan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Farid Firdaus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper