Bisnis.com, JAKARTA - Penerbitan surat utang atau obligasi korporasi pada kuartal IV/2023 diperkirakan akan teradang oleh beberapa rintangan, salah satunya adalah kenaikan cost of fund sebagai imbas dari keputusan Bank Indonesia (BI) untuk mempertahankan suku bunga acuannya di 5,75 persen.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto menilai bahwa hal tersebut berpotensi untuk mengerek tingkat bunga obligasi korporasi dan meningkatkan besaran kupon yang harus dibayarkan oleh setiap perusahaan penerbit obligasi.
"Tantangan untuk penerbitan obligasi korporasi ada di kenaikan cost of fund karena adanya potensi kenaikan suku bunga The Fed yang menjadi acuan suku bunga global, salah satunya Indonesia," terang Ramdhan kepada Bisnis, Kamis (28/9/2023).
Selain itu, dirinya memprediksi bahwa kepercayaan masyarakat terhadap obligasi korporasi akan cenderung berkurang setelah munculnya kasus gagal bayar bunga obligasi emiten pelat merah PT Waskita Karya (Persero) Tbk.
Menurutnya, tak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut menjadi salah satu faktor lain yang dapat memengaruhi penurunan jumlah penerbitan surat utang korporasi pada sisa tahun 2023.
Namun demikian, dari sederet permasalahan di atas, emiten masih berpeluang untuk meraup keuntungan dari penerbitan obligasi korporasi jika saja keadaan perekonomian Indonesia tetap stabil hingga penghujung tahun 2023.
Baca Juga
Kondisi ini dinilai dapat mendorong emiten penerbit obligasi korporasi untuk memperoleh persentase keuntungan atau margin yang lebih besar dari tingkat bunga atau kupon obligasi.
"Selama mereka bisa membuat margin yang lebih dari tingkat bunga, seharusnya tidak terlalu menjadi masalah suku bunga yang tinggi ini. Tentunya harus didukung dengan perekonomian yang terus bertumbuh, baik dari industri maupun daya beli masyarakat," lanjut Ramdhan.
Adapun, Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas itu memperkirakan bahwa sentimen Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tidak akan terlalu memengaruhi kondisi pasar obligasi korporasi pada akhir 2023 hingga awal 2024.
Sebab, menurut Ramdhan, arah pasar obligasi Indonesia cenderung lebih dipengaruhi oleh sentimen-sentimen eksternal, terutama pergerakan suku bunga global, kenaikan US treasury yield, serta penguatan indeks dolar AS.