Bisnis.com, JAKARTA - Prospek penerbitan obligasi korporasi hingga akhir 2023 diprediksi masih ramai, meskipun dibayangi oleh sentimen kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS Federal Reserve (The Fed).
Pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) yang digelar 19-20 September 2023, The Fed diprediksi akan tetap menahan suku bunga acuan di level saat ini di kisaran 5,25-5,50 persen. Namun demikian, The Fed masih membuka opsi kenaikan suku bunga satu kali lagi ke level 5,75 persen, hingga akhir 2023.
Sejalan dengan FOMC The Fed, sederet emiten menawarkan obligasi pada September ini. Misalnya, Grup Sinarmas, PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk. (INKP) akan menerbitkan obligasi berkelanjutan tahap I tahun 2023 sebesar US$150 juta atau setara Rp2,30 triliun (kurs jisdor Rp15.367). Dana obligasi digunakan untuk pembangunan pabrik baru.
Selanjutnya, emiten gas milik keluarga Harsono PT Samator Indo Gas Tbk. (AGII) bersiap menerbitkan obligasi dan sukuk ijarah senilai total Rp140 miliar yang akan digunakan untuk belanja modal guna menambah utilitas pabrik.
Tak ketinggalan, PT Toyota Astra Financial Services (TAF), anak usaha PT Astra International Tbk. (ASII) akan menerbitkan Obligasi Berkelanjutan IV Toyota Astra Financial Services Tahap II Tahun 2023 dengan jumlah pokok obligasi sebesar Rp625 miliar. Perusahaan akan melakukan masa penawaran umum pada 26—27 September 2023.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan penerbitan obligasi korporasi masih akan cenderung berlanjut pada kuartal IV/2023, seiring dengan cukup tingginya obligasi korporasi yang jatuh tempo, sehingga para pelaku usaha butuh melakukan penerbitan kembali (re-issuance) untuk menutupi beban tersebut.
Baca Juga
Selain itu, menurutnya kondisi ekonomi di Indonesia tercatat masih solid, tecermin dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal I dan II 2023 yang masing-masing tercatat 5,04 persen dan 5,17 persen secara year-on-year (yoy).
"Pertumbuhan ekonomi tersebut memberikan sinyal permintaan yang solid dari perekonomian Indonesia, sehingga para pelaku usaha masih melihat prospek yang lebih baik ke depannya," ujar Josua kepada Bisnis dikutip Selasa, (19/9/2023).
Kendati demikian, beberapa kekhawatiran dari emiten yang mungkin menghambat penerbitan lebih tinggi pada sisa tahun 2023, di antaranya adalah suku bunga acuan yang masih relatif tinggi, meskipun spread obligasi korporasi cenderung turun dalam 1 hingga 2 bulan terakhir.
"Secara umum, akibat dari tingginya suku bunga domestik, borrowing cost untuk menerbitkan obligasi menjadi cenderung tinggi dibandingkan dengan seharusnya. Selain itu, faktor musim Pemilu yang dipenuhi ketidakpastian juga diperkirakan membuat emiten lebih berhati-hati dalam menerbitkan obligasi korporasi," pungkas Josua.
Di lain sisi, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David E. Sumual mengatakan, tren penerbitan obligasi korporasi tahun ini menurun dibandingkan 2022, terutama disebabkan ketidakpastian global yang mengkhawatirkan pelaku pasar.
"Tapi kita lihat kapasitas utilisasi di dalam negeri juga terus naik, demand domestik cukup tinggi, dan indeks manufaktur masih di atas 50. Jadi sebenarnya tinggal menunggu waktu bagi emiten untuk ekspansi lagi," ujar David saat dihubungi Bisnis.
Menurut David, profit margin dari beberapa emiten masih cukup baik, dan biasanya sekitar 4-6 bulan setelah kenaikan profit margin diikuti keinginan perusahaan untuk ekspansi, baik melalui kredit maupun penerbitan obligasi.
"Jadi minat penerbitan obligasi korporasi masih relatif baik hingga akhir tahun. Sektor emiten yang masih menarik terkait penerbitan obligasi yaitu sektor komoditas, logistik, dan konsumer," jelas David.