Bisnis.com, JAKARTA — Prospek penerbitan obligasi korporasi pada paruh kedua 2023 terimbas sentimen isu gagal bayar bunga obligasi dari emiten pelat merah PT Waskita Karya (Persero) Tbk. (WSKT). Hal tersebut pun dinilai mempengaruhi kepercayaan investor terhadap obligasi korporasi.
Sebelumnya, WSKT tidak melakukan pembayaran atas bunga dan pokok obligasi Berkelanjutan IV yang jatuh tempo pada 6 Agustus. Adapun jumlah pokok yang harus dibayarkan mencapai Rp135,5 miliar.
Sebagai informasi, utang pokok Obligasi Berkelanjutan IV Waskita Karya Tahap I Tahun 2020 memiliki bunga 10,75 persen per tahun, artinya bunga yang harus dibayar mencapai Rp14,56 miliar.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto mengatakan, fenomena gagal bayar obligasi korporasi membuat kepercayaan publik menjadi turun, sehingga hal tersebut harus dipulihkan agar instrumen yang ada di pasar modal tetap aman dan dapat dipercaya.
"Gagal bayar ini bisa disengaja dan tidak sengaja, ada faktor lain yang tidak diantisipasi. Beberapa emiten yang terbitkan obligasi baik BUMN maupun non-BUMN yang gagal bayar atau direstrukturisasi tapi tetap gagal. Artinya mereka tidak bisa menunaikan kewajibannya sesuai janji di awal," ujar Ramdhan kepada Bisnis, Selasa, (8/8/2023).
Menurutnya, untuk menjaga kepercayaan investor perlu adanya kolaborasi dengan berbagai stakeholder di pasar modal Indonesia. Selain itu, investor juga perlu mengukur tingkat risiko terhadap produk yang dipilih untuk portofolio investasi.
Baca Juga
Ramdhan mengatakan, selain mempertimbangkan peringkat surat utang atau emiten yang menerbitkan obligasi, perlu juga dilihat secara historis apakah emiten tersebut pernah mengalami gagal bayar sebelumnya.
"Cek setiap histori dari emiten yang menerbitkan obligasi korporasi. Jadi tidak semua rating yang bagus itu menjamin tidak terjadi gagal bayar. Karena beberapa emiten yang ratingnya cukup bagus itu tiba-tiba gagal bayar dalam beberapa tahun terakhir," katanya.
Kendati demikian, menurutnya prospek penerbitan obligasi korporasi pada paruh kedua 2023 masih akan cukup tinggi didorong dengan kondisi likuiditas dalam negeri yang masih cukup baik, dan kebutuhan pendanaan dari perusahaan.
"Selama ekonomi tumbuh, kebutuhan dana perusahaan baik untuk ekspansi ataupun refinancing cukup tinggi, dan di Indonesia sedang tumbuh pasarnya, sehingga prospek penerbitan obligasi saya rasa masih akan cukup baik," kata Ramdhan.
Senada, Ekonom KB Valbury Sekuritas Fikri Permana mengatakan, seiring masih adanya kebutuhan pendanaan oleh perusahaan, maka minat penerbitan obligasi korporasi masih akan cukup marak.
Maraknya penerbitan obligasi dan sukuk korporasi juga mendapatkan dukungan dari kondisi pasar surat utang yang menguat. Hal itu tecermin dari imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) acuan tenor 10 tahun pada kisaran 6,3 persen dan berpotensi melandai ke 6,1 persen. Melandainya imbal hasil ini akan memangkas biaya dana bagi korporasi yang ingin mencari dana segar lewat emisi obligasi dan sukuk.
“Karena ada kebutuhan pendanaan alternatif oleh perusahaan yang relatif lebih murah pada obligasi korporasi dibanding kredit perbankan, jadi ini yang mendorong emisi surat utang korporasi lebih baik pada 2023,” ujar Fikri kepada Bisnis.
Secara tahun berjalan, Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat realisasi emisi obligasi dan sukuk korporasi mencapai Rp74,1 triliun dari 47 perusahaan. Realisasi tersebut hampir separuh dari realisasi setahun penuh pada 2022 yakni Rp156,33 triliun.
“Saya rasa di bulan September atau Oktober akan lebih ramai penerbitan obligasi korporasi, sekaligus menanti kondisi domestik dan suku bunga BI yang diharapkan bisa turun dan mendorong penurunan yield obligasi korporasi,” pungkas Fikri.