Bisnis.com, JAKARTA - Nilai tukar rupiah tergelincir ke posisi Rp15.330 per dolar Amerika Serikat (AS) pada Senin (11/9/2023). Pelemahan rupiah menembus Rp15.300 berisiko menekan kinerja emiten farmasi yang mengandalkan bahan baku dari impor.
Mengutip data Bloomberg, Senin (11/9/2023), rupiah ditutup melemah 2 poin atau 0,01 persen menuju Rp15.330 per dolar AS. Adapun pelemahan rupiah yang terjadi selama beberapa waktu ke belakang dikhawatirkan dapat menjadi sentimen negatif pada pergerakan saham emiten farmasi.
Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta menyebut bahwa harga saham emiten farmasi berpotensi besar mengalami pelemahan seiring melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar as.
Menurutnya, hal ini sejalan dengan tingginya penggunaan bahan baku impor dalam pembuatan produk-produk farmasi.
Melemahnya nilai tukar rupiah, ujarnya, dapat berimbas pada kenaikan biaya bahan baku produk yang digunakan oleh emiten farmasi. Hal ini bahkan dinilai Nafan dapat memengaruhi capaian laba bersih emiten farmasi pada semester I/2023.
"Ketika rupiah terdepresiasi tentu ini akan memengaruhi laba bersih atau net profit margin (NPM) yang akan dihasilkan oleh perusahaan. Tentu akan lebih berpengaruh buruk pada perusahaan yang mencatat net loss atau rugi bersih," ujarnya ke Bisnis, Senin (11/9/2023).
Baca Juga
Adapun, Nafan menilai bahwa emiten farmasi tanah air perlu melakukan langkah efisiensi yaitu dengan mengurangi porsi penggunaan bahan baku impor dalam pembuatan produk obat. Menurutnya, di tengah pelemahan yang terjadi, emiten harus memaksimalkan penggunaan bahan baku domestik.
"Jadi memang emiten farmasi harus melakukan mitigasi risiko dengan memenuhi hulu ke hilir dengan bahan baku domestik, hal ini bisa mengurangi dampak pelemahan rupiah terhadap masing-masing perusahaan. Selain itu, bisa juga melakukan penguatan obat generik," pungkas Nafan.
Di sisi lain, Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy menilai bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS belum terlalu berpengaruh pada kinerja keuangan emiten-emiten sensitif seperti sektor farmasi.
Menurutnya, emiten-emiten yang sensitif terhadap pelemahan nilai tukar rupiah tentu telah mengantisipasi fluktuasi rupiah di kisaran Rp15.000.
Budi pun beranggapan bahwa rupiah yang melemah justru akan memberi dampak buruk pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Dia mengatakan, rupiah yang melemah mampu menahan laju IHSG untuk menembus ke level 7.000.
"Selama rupiah tidak jatuh melemah melebihi Rp15.500, masih tidak terlalu menguntungkan atau menekan kinerja keuangan emiten," jelasnya kepada Bisnis, Minggu (10/9/2023).