Bisnis.com, JAKARTA - PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. (TPIA) optimistis mengandalkan pabrik cracker kedua yang akan berada di bawah Chandra Asri Perkasa 2 (CAP2) untuk menahan laju impor, sehingga meningkatkan daya saing industri petrokimia dalam negeri.
Direktur Legal & External Affairs TPIA, Edi Rivai mengatakan gempuran impor produk kimia yang mencakup plastik telah menghambat pertumbuhan industri. Adapun, nilai impor produk tersebut mencapai US$10 miliar dengan volume 10 juta ton per tahun.
"Dengan pertumbuhan yang akan nanti dibuat lebih kurang setidaknya 4-5 juta ton yang akan menggantikan produk impor," kata Edi dalam Media Private Session di sela-sela Asean-BAC, Senin (4/9/2023).
Untuk dapat membuat hal tersebut terealisasi, Edi menilai perlunya dorongan dari regulator terkait dengan iklim investasi dalam hal perpajakan, pengendalian impor hingga bahan baku.
Terkait iklim investasi di Indonesia, insentif fiskal berupa tax holiday memang mampu mendorong semangat para investor, meski dirasa belum cukup.
"Tax holiday itu akan bermanfaat apabila pabrik itu telah berproduksi. Dalam perjalananya maka diperlukan banyak hal lain yang diperlukan oleh industri, termasuk dengan perpajakan," tuturnya.
Baca Juga
Edi menyinggung perihal masa kredit pajak pertambahan nilai (PPN) indusri yang terbilang singkat yakni maksimum 5 tahun. Pihaknya meminta agar pemerintah memperpanjang kredit pajak pertamabahan nilai (PPN) industri.
Sebagaimana diketahui, Berdasarkan PMK No 31/PMK.03/2014, masa pengkreditan PPN Masukan hanya diberikan selama 3 tahun, dengan tambahan maksimal 2 tahun. Hal itu disebut sangat menyulitkan pengusaha yang akan berinvestasi.
"Hal ini yang menjadi dorongan buat kita untuk dapat tumbuh lebih cepat untuk merealisasikan industri ini juga lebih cepat," ujarnya.
Selanjutnya, berkaitan dengan feedstock atau bahan baku petrokimia yang saat ini membutuhkan 2,5 juta ton naphta. Faktanya, rata-rata 95 persen naphta masih di impor karena tidak ada feedstock di Indonesia.
Maka, menurut Edi, Indonesia perlu membangun refinery atau kilang yang kuat sehingga dapat mengeluarkan produk naphta mandiri.
"Karena refinery-nya kurang, makanya naphta itu kita impor dengan total yang cukup besar, kuantitasnya lebih kuang 2,5 juta ton," jelansya.
Selain itu, dia meminta pemerintah untuk tegas melakukan pembatasan impor produk petrokimia. Padahal, Indonesia memiliki pangsa pasar yang besar. Banjir impor yang terjadi saat ini tak hanya pada bahan baku, melainkan juga barang jadi plastik.
"Jadi banyak sekali produk barang jadi seperti terpal, kantong-kantongan, banyak kontainer rumah tangga bahannya impor, entah dari China, Korea, dan sebagainya," tambahnya.