Bisnis.com, JAKARTA - Pergerakan rupiah pekan ini diprediksi masih akan terkonsolidasi cenderung melemah jelang pertemuan Bank Sentral AS Federal Reserve (The Fed) dalam Federal Open Market Committee (FOMC) pada 25-26 Juli 2023.
Analis Sinarmas Futures Ariston Tjendra mengatakan pekan depan pasar mengantisipasi hasil rapat kebijakan moneter yang akan dirilis 27 Juli dini hari. Menurut survei CME, probabilitas hampir 100 persen The Fed akan menaikan suku bunganya sebesar 25 bps menjadi 5,25-5,50 persen.
"Pasar bisa berperilaku wait and see dan tidak berani berspekulasi terlalu besar. Nilai tukar rupiah bisa saja berkonsolidasi menjelang hasil rapat tersebut dengan kecenderungan melemah karena mengantisipasi kenaikan suku bunga The Fed," kata Ariston kepada Bisnis, dikutip Minggu, (23/7/2023).
Dia mengatakan tingkat inflasi AS pada Juni memang melandai, namun belum menyentuh target 2 persen. Terlebih, menurutnya beberapa data ekonomi AS masih mengindikasikan daya beli masyarakat AS masih tinggi sehingga bisa menaikan inflasi lagi.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah ditutup melemah 41 poin atau 0,27 persen ke Rp15.027 per dolar AS pada akhir perdagangan Jumat, (21/7/2023).
Pelemahan rupiah tersebut bersamaan dengan menguatnya indeks dolar AS 0,19 persen atau naik 0,19 poin ke level 101,07 pada perdagangan akhir pekan.
Baca Juga
"Potensi konsolidasi menjelang hasil The Fed di sekitar Rp14.950-Rp15.080. Setelah itu, bila The Fed memberikan isyarat akan segera menghentikan kebijakan suku bunga tinggi, rupiah mungkin bisa beralih menguat ke arah Rp14.900, dan sebaliknya," kata Ariston.
Selain itu, dia mengatakan data yang masih menjadi sorotan pasar ke depan adalah data PDB AS kuartal II/2023 dan data pesanan barang tahan lama (US Durable Goods Orders) yang akan diumumkan 27 Juli 2023.
Di lain sisi, Departemen Tenaga kerja AS melaporkan jumlah warga yang mengajukan klaim tunjangan pengangguran baru turun 9.000 ke 228.000 pekan lalu. Sementara itu, klaim pengangguran lanjutan naik 33.000 ke level 1,754 juta.