Bisnis.com, JAKARTA - Beberapa emiten baru di pasar modal cenderung mengalami apresiasi di hari pertama melantai di bursa, tetapi kemudian akan mengalami pelemahan harga saham berturut-turut. Analis menyarankan investor untuk mencermati beberapa hal untuk menghindari jebakan IPO (IPO Trap).
Deputy Head of Research Sinarmas Sekuritas Ike Widiawati menuturkan untuk menghindari jebakan IPO, investor harus memperhatikan tujuan emiten melakukan IPO. Dia menyarankan investor memperhatikan kinerja dan kondisi industri tersebut.
"Selain itu, adanya nama pemegang saham lama juga turut mempengaruhi persepsi investor," ujar Ike kepada Bisnis, Selasa (27/12/2022).
Dia melanjutkan, investor bisa mencoba untuk memperhatikan trade record atau gaya dari investor lama tersebut. Pasalnya, terdapat beberapa nama yang memang bermain di saham IPO, dan cenderung mampu menggerakkan harga saham baru tersebut.
Sementara itu, Research Analyst Infovesta Kapital Advisori Arjun Ajwani mengatakan investor dapat melakukan analisa prospektus perusahaan yang melakukan IPO secara lengkap.
"Investor juga bisa menghitung rasio seperti PER dan PBV, berdasarkan harga rentang IPO. Apakah harga IPO wajar dibandingkan rata-rata emiten di sektor tersebut," tuturnya.
Baca Juga
Apabila saham emiten tersebut overvalued atau harga IPO-nya terlalu tinggi, Arjun menuturkan investor perlu waspada terhadap IPO trap.
Selain itu, kata dia, investor perlu mencermati sektor emiten IPO yang melakukan IPO. Apabila sektornya kondusif, seperti sektor energi atau konsumen primer, menurutnya hal tersebut dapat menjadi nilai lebih bagi emiten yang melakukan IPO.
Sementara Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Budi Frensidy mengatakan, untuk menghindari risiko capital loss dari investasi di saham pendatang baru, investor perlu melakukan analisis sendiri, baik dari sisi prospek maupun valuasinya.
“Perlu diperhatikan apakah berprospek bagus dan valuasinya juga rendah. Pelajari prospektusnya,” kata Budi, Selasa (22/12/2022).
Budi juga menyarankan agar investor menghindari aksi ikut-ikutan dan menghindari perusahaan yang masih membukukan rugi.
“Kalau bisa hindari pula yang menawarkan jumlah saham yang sangat banyak dan yang tidak berencana membagikan dividen hingga beberapa tahun mendatang,” kata Budi.