Bisnis.com, JAKARTA – Pasar obligasi Indonesia terpantau masih bergerak positif jelang akhir tahun 2022. Tingkat imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) seri acuan mencatatkan penguatan selama 1 bulan terakhir.
Data dari World Government Bonds pada Selasa (13/12/2022) pukul 12.00 WIB mencatat, tingkat imbal hasil SUN Indonesia dengan tenor 10 tahun berada di level 7,04 persen. Selama sepekan terakhir, yield SUN Indonesia terpantau melemah sebesar 12,5 basis poin.
Meski demikian dalam periode 1 bulan belakangan, imbal hasil SUN tercatat masih menguat sebesar 16,2 basis poin.
Adapun, level credit default swap (CDS) 5 tahun Indonesia per hari ini ada di level 96,96. Posisi tersebut mengindikasikan probabilitas default atau gagal bayar sebesar 1,62 persen. Selama 1 bulan lalu level CDS 5 tahun Indonesia telah menguat 7,88 persen.
Seperti diketahui, level CDS yang semakin rendah menunjukkan ekspektasi risiko investasi yang semakin rendah pula pada instrumen surat utang suatu negara, dalam hal ini untuk surat utang Indonesia dalam denominasi rupiah.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memaparkan penguatan pasar obligasi Indonesia ditopang oleh indikasi The Fed yang tidak akan terlalu agresif dalam menaikkan suku bunganya. Hal ini mendorong lebih banyak investor asing yang masuk ke pasar obligasi, sehingga mendukung penguatan imbal hasil obligasi Rupiah.
Baca Juga
“Ini menandakan bahwa jika The Fed menghentikan pendekatan moneter agresifnya, investor asing akan kembali ke aset yang lebih berisiko, seperti obligasi pemerintah negara berkembang, dalam hal ini obligasi pemerintah,” jelas Josua saat dihubungi, Selasa (13/12/2022).
Josua melanjutkan imbal hasil SUN Indonesia masih berpotensi ditutup di bawah level 7 persen hingga akhir tahun ini. Menurutnya hal ini akan terealisasi apabila laju inflasi melambat dan The Fed mengkonfirmasi arah kebijakannya yang tidak begitu hawkish dibandingkan dengan sebelumnya.
Seiring dengan sentimen tersebut, yield SUN Indonesia seri 10 tahun diprediksi akan bergerak pada kisaran 6,9 persen hingga 7,05 persen hingga akhir tahun ini.
Adapun, Josua memandang prospek pasar obligasi Indonesia akan atraktif pada tahun depan. Menurutnya permintaan obligasi pada tahun depan terutama akan berasal dari investor asing, sehingga potensi capital inflow juga semakin besar.
Sementara itu, dari dalam negeri lembaga asuransi dan dana pensiun akan menjadi pemain utama pada instrumen ini. Josua menambahkan permintaan investor individu juga masih optimal melalui instrumen SBN Ritel.
“Sementara, sektor perbankan kemungkinan akan fokus untuk mengalokasikan likuiditasnya ke dalam kredit, yang memperlambat permintaan dari mereka,” jelasnya.
Di sisi lain, Josua mengatakan pasokan obligasi pemerintah kemungkinan akan sama dengan pasokan tahun ini karena pemerintah merencanakan target penerbitan surat berharga bersih yang serupa di tengah defisit yang lebih rendah.
Hal Ini mengindikasikan bahwa imbal hasil obligasi pemerintah akan terpengaruh terutama dari sisi permintaan karena sisi penawaran yang serupa.
Josua memperkirakan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun akan berada di kisaran 6,5 persen - 6,9 persen pada akhir tahun 2023.