Bisnis.com, JAKARTA – Bursa Efek Indonesia (BEI) telah memberikan peringatan kepada beberapa emiten mengenai delisting paksa saham-saham tersebut. Emiten-emiten tersebut telah disuspensi beberapa tahun lalu dengan sebagian sahamnya masih dimiliki publik.
Selanjutnya dengan adanya potensi delisting beberapa emiten tersebut, nasib investorpun ikut dipertanyakan. Apakah uang investasinya juga hilang?
Mengutip informasi pada website resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pihaknya mengklaim jika dana investor dapat kembali dengan proses yang tidak mudah khususnya bagi emiten yang terkena delisting paksa.
“Caranya adalah dengan menjual seluruh asetnya dan hasilnya digunakan untuk memenuhi kewajiban perusahaan (membayar utang). Selanjutnya, pemegang saham adalah pihak paling terakhir yang menerima hasil likuidasi tersebut,” tulis OJK, dikutip Jumat (25/11/2022).
Pada praktiknya, jarang terjadi dana hasil likuidasi sampai ke pemegang saham emiten tersebut, karena umumnya dana tersebut akan habis dipakai untuk membayar utang perusahaan terlebih dahulu.
Sebelum proses persidangan bagi emiten yang terkena delisting paksa, Otoritas Jasa Keuangan sebagai regulator mewajibkan emiten yang akan delisting baik sukarela maupun paksa untuk membeli kembali sahamnya yang beredar di masyarakat (buyback).
Baca Juga
Regulasi tersebut termaktub dalam POJK Nomor 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal yang bertujuan untuk melindungi investor ritel di pasar modal, mendisiplinkan emiten dan mengakomodir hal-hal baru maupun perkembangan industri sektor jasa keuangan secara global.
Hal tersebut dilakukan agar terdapat sarana bagi investor untuk menjual kembali saham miliknya yang telah disuspensi.
Sebagai contoh kasus adalah PT Berau Coal Energy pada tahun 2015. BRAU melakukan tender offer. Namun hingga tenggat waktu delisting, masih ada 3,25 miliar saham BRAU yang dipegang oleh pemegang saham minoritas. Saham itu mengendap di Kustodian Efek Indonesia (KSEI) dalam bentuk scriptless.
Gagalnya proses tender offer ini pernah juga dialami emiten obat diabetes dan imunisasi PT Organon Pharma Indonesia Tbk (SCPI). SCPI saat ini sedang dalam proses delisting sukarela sejak 9 tahun lalu. SCPI telah melakukan tender offer pada periode 3 Desember 2018 hingga 3 Januari 2019.
Saat itu SCPI menawarkan Rp100 ribu untuk satu lembar saham. Namun tender offer ini gagal. Dari 46.464 saham publik, saham yang berhasil buy back hanya 2.800 saham. Dari 471 pihak yang memiliki saham tersebut hanya berkurang menjadi 43.664 saham yang dimiliki oleh 440 pihak.
Pengamat Pasar Modal Teguh Hidayat menjelaskan jika sampai tender offer selesai dan pemegang saham publik tidak menjual sahamnya, kemungkinan besar saham tersebut akan hangus.
“Harusnya peraturan tender offernya dari Bursa Efek ini yang di update dan diubah. Jika kejadiannya seperti ini (kasus SCPI) lalu solusinya bagaimana?” kata Teguh kepada Bisnis beberapa waktu lalu.
Harusnya ada penyesuaian dari mekanisme tender offernya sehingga tender offernya tetap bisa dilakukan dan perusahaan bisa delisting.
“Jadi ini kerjaannya Bursa dan OJK. Bagaimana peraturan ini harus diupdate,” imbuhnya.
Terkait dengan jaminan dana investor terhadap emiten yang akan delisting, Bisnis telah mencoba mengkonfirmasi ke OJK. Namun, OJK menyarankan untuk bertanya langsung pada BEI. Hingga berita ini ditulis, Bursa Efek Indonesia belum mengkonfirmasi pertanyaan Bisnis.