Bisnis.com, JAKARTA - Harga minyak melonjak sekitar 4 persen ke level tertinggi lima minggu pada akhir perdagangan Jumat (7/10/2022), karena keputusan OPEC+ minggu ini untuk melakukan pemotongan pasokan terbesar sejak 2020.
Namun demikian, harga minyak tertahan adanya kekhawatiran tentang kemungkinan resesi dan kenaikan suku bunga, mengutip Antara.
Harga minyak Brent untuk pengiriman Desember naik US$3,50 atau 3,7 persen menjadi US$97,92 per barel. Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November meningkat US$4,19 atau 4,7 persen menjadi US$92,64 per barel.
Harga minyak itu merupakan penutupan tertinggi untuk Brent sejak 30 Agustus dan untuk WTI sejak 29 Agustus. Lonjakan harga minyak mendorong kedua harga acuan ke wilayah overbought secara teknis untuk pertama kalinya sejak Agustus untuk Brent dan sejak Juni untuk WTI.
Kedua kontrak membukukan kenaikan mingguan kedua berturut-turut, dan persentase kenaikan mingguan terbesar sejak Maret minggu ini, dengan Brent naik sekitar 11 persen dan WTI 17 persen lebih tinggi.
Harga minyak menguat untuk hari kelima berturut-turut bahkan ketika dolar bergerak lebih tinggi setelah data menunjukkan ekonomi AS menciptakan lapangan kerja dengan kecepatan yang kuat, memberi Federal Reserve (Fed) alasan untuk melanjutkan kenaikan suku bunga yang besar.
Baca Juga
Greenback yang kuat dapat menekan permintaan minyak, membuat minyak mentah berdenominasi dolar lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya termasuk Rusia, yang dikenal sebagai OPEC+, sepakat minggu ini untuk menurunkan target produksi mereka sebesar 2 juta barel per hari.
"Di antara konsekuensi utama dari pemotongan terbaru OPEC adalah kemungkinan kembalinya minyak ke 100 dolar AS," kata Stephen Brennock dari pialang minyak PVM.
UBS Global Wealth Management juga memproyeksikan Brent akan "bergerak di atas angka 100 dolar AS per barel selama kuartal mendatang."
Pemotongan OPEC+ datang menjelang embargo Uni Eropa pada minyak Rusia dan akan menekan pasokan di pasar yang sudah ketat.
Sekretaris Jenderal OPEC Haitham al-Ghais mengatakan penurunan target produksi akan membuat OPEC+ memiliki lebih banyak pasokan untuk dimanfaatkan jika terjadi krisis.
Pada Kamis (6/10/2022), Presiden AS Joe Biden menyatakan kekecewaannya atas rencana OPEC+. Dia dan pejabat AS mengatakan Washington sedang mencari semua alternatif yang mungkin untuk menjaga harga agar tidak naik.
Namun jumlah rig minyak AS, indikator awal produksi masa depan, turun dua rig minggu ini menjadi 602, menurut perusahaan jasa energi Baker Hughes Co, karena inflasi yang tinggi memaksa produsen menghabiskan lebih banyak uang untuk menjamin pekerja dan peralatan.
"Harga minyak berjangka berhasil mendapatkan traksi naik meskipun inflasi yang meluas di AS dan Eropa mengancam potensi resesi global di mana permintaan kemungkinan akan mendapat pukulan yang cukup besar," kata analis di perusahaan konsultan energi Gelber & Associates.
Di Eropa, perpecahan antara para pemimpin Uni Eropa mengenai pembatasan harga gas dan paket penyelamatan nasional muncul kembali, dengan Polandia menuduh Jerman "egois" dalam menanggapi krisis energi musim dingin yang disebabkan oleh perang Rusia di Ukraina.
Sementara itu, harga minyak mentah diperkirakan dapat melampaui US$100 per barel setelah OPEC dan sekutunya sepakat memangkas produksi 2 juta barel per hari mulai November. Momok inflasi tinggi di negara-negara importir minyak belum akan hilang dalam waktu dekat.
Sejumlah bank meningkatkan perkiraan harga minyak patokan untuk kuartal IV/2022 dan tahun depan. Goldman Sachs memprediksi harga Brent akan US$110 per barel pada kuartal terakhir, naik US$10 dari proyeksi sebelumnya.
“Semua perkembangan yang telah kita lihat di sisi penawaran pada titik ini sangat menentukan apa yang kami yakini bahwa harga akan lebih tinggi hingga akhir tahun ini,” ujar Kepala Riset Energi Goldman Sachs Damien Courvalin, dikutip Bloomberg.
Bahkan, lanjut Courvalin, pemotongan dapat menambah US$25 per barel ke harga Brent pada 2023 jika OPEC+ mempertahankannya selama setahun penuh.
UBS AG Group melihat pasar minyak akan makin ketat dan Brent akan naik di atas US$100 pada kuartal mendatang. Pemotongan produksi OPEC+, menurut para analis UBS, termasuk Giovanni Staunovo, akan berkombinasi dengan larangan Eropa atas impor minyak mentah Rusia, kemungkinan berakhirnya rilis cadangan minyak strategis OECD, dan permintaan yang lebih tinggi akibat peralihan gas ke minyak pada musim dingin ini, yang dapat memperketat pasar.
Sementara itu, Morgan Stanley meningkatkan perkiraan Brent sebanyak US$5 menjadi US$100 per barel untuk kuartal I/2023, sembari mempertahankan prospeknya tidak berubah untuk tiga kuartal berikutnya.
“Brent akan menemukan jalannya ke US$100 per barel lebih cepat dari yang kami perkirakan sebelumnya setelah langkah OPEC+,” kata analis Morgan Stanley, termasuk Martijn Rats, dalam riset.
Menurut bank itu, pengurangan produksi berisiko memperketat pasar secara signifikan, meskipun banyak bergantung pada bagaimana tingkat produksi minyak Rusia setelah embargo Uni Eropa mulai berlaku.