Bisnis.com, JAKARTA - Inflasi Amerika Serikat (AS) yang lebih lemah dari perkiraan dapat mengurangi tekanan pada The Federal Reserve (The Fed) untuk menaikkan suku bunga dan meredakan tekanan mata uang negara berkembang di Asia.
Dilansir dari Bloomberg pada Kamis (11/8/2022), mata uang di seruluh AS kawasan melonjak mengikuti mata uang negara berkembang di AS dan Eropa, setelah data inflasi AS yang diterbitkan Rabu (10/8/2022) menyebabkan pelemahan dolar AS.
Nilai tukar rupiah mencatatkan penguatan paling signifikan di antara mata uang lainnya di Asia. Rupiah ditutup menguat 0,71 persen ke Rp14.765 per dolar AS. Adapun won Korea Selatan menguat 0,56 persen dan baht Thailand yang naik 0,38 persen.
Analis valas senior DBS Singapore Philip Wee mengatakan meskipun masih ada volatilitas yang tersisa di pasar saat ini, tekanan terburuk terhadap mata uang di Asia diperkirakan mereda.
“Data inflasi AS menegaskan asumsi kami terhadap dolar untuk mengembalikan keuntungan terhadap mata uang Asia mulai kuartal ini hingga sisa tahun ini,” kata Philip, dikutip dari Bloomberg pada Kamis (11/8/2022).
Sementara itu, pelemahan dolar diperkirakan mengurangi tekanan pada bank sentral Asia untuk menaikkan suku bunga dan mendorong pertumbuhan ekonomi regional di tengah risiko resesi di AS dan negara maju lainnya.
Baca Juga
Optimisme aset negara berkembang di Asia telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir, sebagaimana dibuktikan oleh arus masuk modal asing atau capital inflow. Bulan ini saja, investor global telah membeli bersih saham India senilai US$2,06 miliar dan US$1,25 miliar di Korea Selatan.
Sebelumnya, Departemen Tenaga Kerja AS mencatat indeks harga konsumen (CPI) AS naik 8,7 persen pada Juli 2022 dari periode yang sama tahun sebelumnya (yoy). Angka inflasi AS ini lebih rendah dari bulan Juni 2022 yang mencapai level tertinggi sejak 1981 di 9,1 persen.