Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah diperkirakan bakal tetap bertahan di atas US$100 per barel setelah mencatatkan kenaikan harian terbesar sejak Mei lantaran para trader mempertimbangkan pengetatan pasokan.
Mengutip data Bloomberg, Selasa (19/7/2022), harga minyak West Texas Intermediate (WTI) tercatat naik 0,60 persen atau 0,62 poin kwe US$103,22 per barel. Sedangkan, harga minyak Brent mengalami kebaikan 0,51 persen atau 0,54 poin ke US$106,81 per barel.
Kenaikan harga tersebut muncul setelah Arab Saudi mengumumkan belum mau berkomitmen meningkatkan produksi minyak setelah kunjungan Presiden AS Joe Biden, dan adanya disrupsi di sepanjang pipa Keystone yang memangkas pengiriman minyak dari Kanada ke AS.
Pada kunjungannya ke Arab Saudi, Presiden Biden mendesak produsen Arab Saudi untuk meningkatkan pasokan. Menanggapi hal tersebut, para menteri Saudi bersikeras keputusan kebijakan akan diambil sesuai dengan logika pasar dan dalam koalisi OPEC+, mengacu pada Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutu termasuk Rusia.
“Kunjungan ke Arab Saudi untuk meminta produksi tambahan agak tidak praktis. Saudi telah memompa minyak mentah mendekati puncaknya secara historis, dengan sedikitnya kapasitas cadangan yang mungkin tersisa. Jika tidak ada penyangga di pasar, harga akan kacau” ujar Fereidun Fesharaki, Ketua Konsultan Industri FGE, dilansir Bloomberg, Selasa (19/7/2022).
Pasar minyak telah bergejolak dalam beberapa pekan terakhir karena para pedagang tengah memperhatikan kekhawatiran resesi yang mengancam akan merugikan permintaan, dampak dari penguatan dolar AS, dan tandapasokan yang ketat.
Baca Juga
Di sisi lain, AS terus mempertahankan rencananya untuk membatasi harga minyak mentah Rusia, dalam rangka membuat Moskow kekurangan dana untuk mempertahankan invasinya ke Ukraina.
“Sejumlah masalah force majeure pada beberapa aliran minyak mentah melalui pipa Keystone memangkas ekspor minyak mentah Kanada ke AS dan mendukung kenaikan harga. Kemduian, ditambah dengan kekhawatiran permintaan yang sedang berlangsung karena perkembangan ekonomi,” kata Vandana Hari, pendiri Vanda Insights di Singapura.