Bisnis.com, JAKARTA – Potensi fluktuasi pasar yang semakin tinggi di tengah rilis data inflasi AS dapat menekan harga Bitcoin turun hingga ke kisaran US$17.000.
Trader Tokocrypto, Afid Sugiono mengatakan volatilitas masih akan menyelimuti pasar kripto sepanjang pekan ini. Salah satu faktor besarnya adalah perilisan data inflasi AS untuk bulan Juni yang diumumkan pada Rabu (13/7) waktu setempat.
Sejauh ini, banyak analis yang memprediksi bahwa AS telah mencatat inflasi tahunan sekitar 8,7 persen - 8,8 persen pada bulan Juni lalu. Jika data inflasi AS pada Juni sesuai dengan prediksi tersebut, maka investor harus siap-siap melihat nilai dolar AS yang semakin meroket dan kripto terpuruk.
"Data inflasi yang terus meninggi tentu akan direspons keras oleh The Fed dengan pengetatan suku bunga acuan. Peningkatannya bisa sangat agresif. Khawatirnya akan memukul market kripto dengan keras. Hal tersebut tentu akan membuat investor kabur dan memilih mengamankan asetnya ke aset safe haven seperti Dolar AS dan obligasi," jelas Afid dikutip dari keterangan resminya, Rabu (13/7/2022).
Di sisi lain, dua bank sentral di Asia Pasifik menaikkan suku bunga 50bps hari Rabu (13/7) ini. Bank Sentral Korea (BoK) menaikkan suku bunga 50bps ke 2,25 persen. Sementara Bank Sentral Selandia Baru (RBNZ) juga menaikkan suku bunga 50bps ke 2,5 persen.
Sementara itu, dari analisis pergerakan Bitcoin secara garis besar masih berada pada area konsolidasi dengan area harga US$17.557 - US$23.268. Data ini belum mempertimbangkan imbas dari perilisan data inflasi AS bulan Juni nantinya.
Baca Juga
Sejauh ini, harga Bitcoin terkonfirmasi kembali bergerak dibawah EMA20 yaitu berada pada harga US$19.515.
“Apabila pada titik tersebut tidak dapat menahan laju penurunan harga Bitcoin, maka kemungkinan harga Bitcoin akan terkoreksi dan menyentuh support di kisaran harga US$ 17.305 - US$18.605.
Afid melanjutkan, investor kripto cenderung kurang bersemangat untuk melakukan aksi beli pada pekan ini. Secara umum, investor tampaknya masih menghindari pasar kripto menyusul redupnya selera risiko investasi di aset berisiko.
"Sejak awal pekan lalu, banyak investor yang memilih jaga jarak dari market untuk mengantisipasi data inflasi AS pada Juni yang akan dirilis pada hari ini. Kemudian, penguatan nilai Dolar AS tampaknya juga masih menekan kinerja market kripto keseluruhan untuk beberapa hari mendatang," kata Afid.
Afid menerangkan, kenaikan nilai dolar AS akan membuat investor merasa lebih untung untuk menyimpan uang tunai ketimbang mengoleksi aset kripto.
Hasilnya, investor akan semakin rajin melakukan aksi jual. Di samping itu, investor sepertinya bakal terus melirik ke Dolar AS setelah melihat paritas antara mata uang Euro dan Dolar AS kini sudah mencapai 1:1.
"Kenaikan permintaan Dolar AS yang kencang tentu akan menghantam harga aset kripto. Apalagi, beberapa analisis menunjukkan bahwa laju Dolar AS kini punya korelasi negatif yang sangat kuat dengan laju harga aset kripto," ujarnya.
Selain itu, sentimen negatif lainnya juga datang dari pemerintah negara bagian AS, California, tengah menginvestigasi beberapa platform pinjam meminjam aset kripto menyusul aksi penghentian withdrawals dan transfer antar pengguna yang dilakukan secara sepihak.
Di samping perkara makroekonomi, kinerja pasar kripto juga terganggu oleh kabar buruk yang terjadi di sekitaran jaringan blockchain, seperti dari Uniswap yang melaporkan terjadinya serangan phishing.