Bisnis.com, JAKARTA – Kekhawatiran pelaku pasar terhadap keputusan The Fed menaikkan suku bunga di atas 50 basis poin (bps) pada pekan ini, turut membuat imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) melemah.
Berdasarkan Data dari World Government Bonds pada Selasa (14/6/2022) mencatat, tingkat imbal hasil SUN Indonesia tenor 10 tahun telah menembus level 7,55 persen. Selama sepekan terakhir, yield SUN Indonesia telah melemah sebesar 52,7 basis poin.
Sementara itu, yield US Treasury tenor 10 tahun di hari yang sama terus mengalami kenaikan dan sudah berada di level 3,31 persen. Adapun selama sepekan terakhir yield US Treasury tercatat melemah 33,0 bps.
Chief Economist Bank Permata Josua Pardede menjelaskan peningkatan yield SUN dalam dua hari terakhir dipengaruhi oleh kenaikan yield US Treasury dan penguatan dolar AS terhadap mata uang global.
Di mana hal tersebut didorong oleh ekspektasi kebijakan The Fed yang cenderung lebih hawkish dari perkiraan sebelumnya sejalan dengan tren inflasi di Amerika Serikat yang masih cenderung tinggi.
“Saat ini sentimen risk-off masih cenderung mendominasi pasar Asia dan juga pasar global, yang mana mendorong penguatan Dollar AS,” kata Josua kepada Bisnis, Selasa (14/6/2022).
Baca Juga
Menurutnya, peningkatan risk-off tersebut dipengaruhi oleh kekhawatiran bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga lebih dari 50 bps di pertemuan-pertemuan mendatang.
Sementara sejauh ini, Josua mengatakan para investor sudah memperkirakan bahwa The Fed akan menaikan suku bunga 50 bps di bulan ini maupun bulan depan.
Selanjutnya yang juga menjadi perhatian investor menurut Josua dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) mendatang adalah arah kebijakan The Fed dalam menangani inflasi ke depannya.
Oleh sebab itu, Josua memperkirakan sentimen bearish di pasar global masih akan mendominasi pasar, setidaknya hingga pengumuman The Fed di hari Kamis mendatang.
“Bila The Fed memberikan sinyal yang lebih hawkish, tentunya sentimen ini akan berlanjut di minggu berikutnya,” paparnya.
Selain sentimen makroekonomi global yang mempengaruhi pasar obligasi, Josua juga mengatakan investor obligasi perlu mencermati risiko dampak dari kenaikan belanja subsidi energi pemerintah.
Josua berpendapat hal tersebut mendorong defisit anggaran pendapatan belanja negara (APBN) lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.
“Kenaikan defisit pemerintah dapat berimplikasi pada kenaikan penerbitan SBN di sisa tahun 2022, sehingga berpotensi mendorong kenaikan yield,” tutupnya.