Bisnis.com, JAKARTA – Aksi penerbitan surat utang atau obligasi pada tahun ini aktif dilakukan baik dari pemerintah maupun perusahaan.
Berdasarkan catatan Bisnis, pada akhir Mei lalu, pemerintah telah melakukan transaksi penjualan sukuk global sebesar US$3,25 miliar. Minat investor tercatat sangat positif dan mencatatkan kelebihan penawaran (oversubscribed) hingga 3,3 kali.
Emisi sukuk tersebut terdiri atas US$1,75 miliar dengan tenor 5 tahun dan US$1,5 miliar dengan tenor 10 tahun (seri Green) dalam format 144A / Reg S Trust Certificate dengan akad Wakalah yang jatuh tempo pada tahun 2027 dan 2032.
Kemudian, pada 3 Juni lalu, pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dalam valuta asing berdenominasi Yen Jepang (Samurai Bonds) untuk pertama kalinya pada 2022. Penerbitan tersebut sebesar JPY81 miliar atau setara Rp8,99 triliun (kurs Rp111,08 per yen Jepang).
Pada penerbitan kali tersebut, terdapat empat seri yang diterbitkan yaitu RIJPY0625, RIJPY0627, RIJPY0629, RIJPY0632. Seri RIJPY0625 menjadi seri dengan tenor terpendek yakni 3 tahun dengan besaran obligasinya JPY68,2 miliar setara Rp7,57 triliun. Kupon sebesar 0,96 persen dengan tanggal jatuh tempo 9 Juni 2025.
Selanjutnya, seri RIJPY0627 menjadi seri bertenor 5 tahun dengan besaran JPY5,1 miliar setara Rp566,5 miliar dan kupon 1,13 persen dan tanggal jatuh tempo pada 9 Juni 2027.
Baca Juga
Berikutnya, seri RIJPY0629 bertenor 7 tahun dengan besaran penerbitan JPY1,7 miliar setara Rp188,83 miliar dengan kupon 1,27 persen dan tanggal jatuh tempo pada 8 Juni 2029.
Terakhir, seri RIJPY0632 bertenor 10 tahun dengan besaran JPY6 miliar setara Rp666,48 miliar yang mendapatkan kupon 1,45 persen dan tanggal jatuh tempo 9 Juni 2032.
Penerbitan kali ini tercatat sebagai penerbitan terbesar Samurai Bonds oleh sovereign issuer selama tahun 2022. Hal tersebut membuktikan reputasi dan kredibilitas Republik Indonesia yang terpercaya di pasar Jepang walaupun kondisi pasar sangat menantang.
Selain mulai aktif menerbitkan obligasi global, pemerintah Indonesia juga terus melakukan lelang SBN dan SBSN secara rutin setiap pekan. Pemerintah juga mendiversifikasi pembiayaan melalui penawaran 7 seri SBN ritel yang akan dilakukan sepanjang tahun ini.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, realisasi pembiayaan melalui surat utang pemerintah telah mencapai Rp356,81 triliun hingga 24 Mei 2022.
Sementara itu, emisi obligasi dan sukuk korporasi juga lebih semarak dibandingkan dengan tahun lalu. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) hingga 25 Mei 2022, total emisi obligasi dan sukuk yang sudah tercatat adalah 50 Emisi dari 38 Emiten senilai Rp62,45 triliun.
Terbaru, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk menawarkan Obligasi Berkelanjutan IV Bank BTN Tahap II Tahun 2022 yang dicatatkan dengan nilai nominal Rp1 triliun.
Dengan pencatatan ini maka total emisi Obligasi dan Sukuk yang tercatat di BEI berjumlah 504 emisi dengan nilai nominal outstanding sebesar Rp459,72 Triliun dan US$47,5 juta, diterbitkan oleh 123 Emiten.
Selanjutnya, SBN yang tercatat di BEI berjumlah 152 seri dengan nilai nominal Rp4.864,39 Triliun dan US$205,99 juta. EBA sebanyak 10 emisi senilai Rp4,39 Triliun.
Terkait hal tersebut, Head of Research & Market Information Department Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) Roby Rushandie memaparkan, emisi samurai bond dan sukuk global dilakukan pemerintah adalah langkah alternatif pemenuhan pembiayaan SBN domestik. Hal tersebut seiring dengan permintaan yang rendah dalam beberapa lelang terakhir.
“Penerbitan obligasi global juga sebagai langkah diversifikasi basis investor dan meminimalisir risiko fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bagi pemerintah,” katanya saat dihubungi, Selasa (7/6/2022).
Roby menuturkan, minat terhadap SBN Rupiah, surat utang korporasi, maupun obligasi global Indonesia masih cukup besar pada tahun ini. Tetapi, minat tersebut amat bergantung pada tujuan investasi masing-masing investor.
Ia memaparkan, investor domestik cenderung lebih memilih obligasi rupiah karena kupon yang lebih tinggi.
Sementara itu, investor global cenderung memandang global bond lebih menarik. Hal tersebut karena mereka akan terhindar dari risiko fluktuasi mata uang rupiah.
Dari sisi tenor, jika melihat pola perubahan harga secara tahun berjalan, harga SBN tenor pendek turun lebih besar dibandingkan dengan yang panjang. Artinya, pelaku pasar cenderung melepas obligasi dengan tenor pendek.
Menurut Roby, hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya sentimen kenaikan suku bunga di AS. Sehingga, obligasi negara ataupun korporasi dengan tenor pendek akan cenderung lebih sensitif terhadap perubahan suku bunga.
“Namun dengan kondisi ini, tenor pendek bisa menjadi menarik sebagai entry point investor untuk mendapatkan peluang capital gain. Karena, secara harga telah turun lebih besar atau sedang terdiskon,” jelasnya.
Roby memperkirakan, penggalangan dana melalui SBN kemungkinan lebih rendah nilainya dibandingkan dengan tahun 2021. Pasalnya, pemerintah sedang melakukan konsolidasi fiskal atau memperkecil defisit APBN.
Selain itu, surplus anggaran akibat kenaikan harga komoditas juga akan mendorong penurunan pembiayaan SBN.
Di sisi lain, penggalangan dana korporasi melalui surat utang diprediksi akan lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2021. Menurut Roby, outlook ini didukung oleh refinancing utang jatuh tempo yang lebih tinggi di 2022.
“Namun, untuk skenario moderatnya diperkirakan akan tidak berbeda jauh dengan 2021, karena adanya potensi kenaikan suku bunga. Hal ini dapat membuat cost of fund penerbitan obligasi lebih tinggi,” pungkasnya.