Bisnis.com, JAKARTA — Pasar obligasi Indonesia dinilai masih tetap menarik di tengah tren menurunnya tingkat credit default swap Indonesia (CDS) yang menjadi sinyal berkurangnya risiko.
Berdasarkan data worldgovernmentbonds.com, credit default swap (CDS) 5 tahun Indonesia per 6 Juni 2022 ada di level 105,29. Posisi tersebut mengindikasikan probabilitas default atau gagal bayar sebesar 1,75 persen. Meski masih bergerak naik, level CDS Indonesia saat ini cenderung lebih rendah dibandingkan posisi pada awal Mei lalu di kisaran 136,05.
Di sisi lain, imbal hasil SUN acuan tenor 10 tahun turut melandai ke posisi 7 persen, lebih rendah dibandingkan kondisi bulan lalu saat mendekati 7,5 persen.
Director & Chief Investment Officer Fixed Income Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Ezra Nazula mengatakan yield yang berada di 7 persen merupakan level yang masih menarik mengingat inflasi masih di bawah 4 persen. Kenaikan tingkat suku bunga acuan BI juga cenderung terbatas.
“Kenaikan BI rate diperkirakan terbatas dengan pemerintah merevisi APBN sehingga tidak jadi rencana kenaikan BBM. Pasokan obligasi juga masih kondusif sehingga kami perkirakan range obligasi 10 tahun di 6,5 sampai 7 persen,” kata Ezra, Senin (6/6/2022).
Dia mengatakan pasar obligasi saat ini masih dipengaruhi sentimen di sekitar faktor pergerakan yield US treasury dan seberapa besar kenaikan Fed Rate ke depan. Sementara itu, perkembangan inflasi di dalam negeri dan waktu penetapan kenaikan suku bunga BI akan menjadi sentimen dari dalam negeri.
Baca Juga
Sementara itu, Head of Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto menyarankan para investor obligasi untuk terus mengamati perkembangan makro ekonomi nasional dan perkembangan tingkat suku bunga global. Dia mengatakan respons pemerintah Indonesia atas perkembangan stabilitas ekonomi akan memainkan peran penting.
“Kalau eksternal dan internal stabil, pasar akan makin likuid dan aliran dana global bisa masuk karena kita salah satu pemberi yield terbesar dibandingkan dengan yield negara lain, bahkan di antara negara Asean. Memang tingkat risiko tinggi, tetapi masih jadi daya tarik bagi pasar global,” katanya.