Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah menguat pada perdagangan awal pekan ini, Senin (23/5/2022) karena sentimen ketatnya pasokan melampaui kekhawatiran atas perlambatan pertumbuhan global yang juga masih kuat.
Berdasarkan data Bloomberg, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak Juli terpantau menguat 0,65 persen atau 0,72 poin ke level US$111 per barel pada pukul 08.46 WIB.
Sementara itu, harga minyak Brent untuk kontrak pengiriman Juli naik 0,76 persen atau 0,86 poin ke level US$113,41 per barel di ICE Futures Europe exchange.
Harga bensin dan solar telah mencapai rekor menjelang dimulainya musim mengemudi di AS, yang akan dimulai sekitar satu pekan lagi. Fund manager juga telah meningkatkan ekspektasi bullish pada harga minyak.
Dalam sambutan yang dilaporkan pada akhir pekan, Arab Saudi mengisyaratkan akan terus mendukung peran Rusia dalam kelompok produsen OPEC+. Langkah ini kontradiktif terhadap upaya pimpinan AS untuk melakukan boikot terhada Rusia atas invasinya ke Ukraina.
Menteri Energi Arab Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman berhadap negaranya mencapai kesepakatan dengan OPEC+, yang mencakup Rusia.
Baca Juga
Minyak mentah telah melonjak tahun ini karena meningkatnya permintaan dan dampak global yang kompleks dari invasi Rusia. Kenaikan biaya energi telah berkontribusi pada inflasi yang merajalela, sehingga mendorong sejumlah bank sentral untuk menaikkan suku bunga dan memicu kekhawatiran akan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Pada saat yang sama, China telah memberlakukan serangkaian lockdown untuk menekan penyebaran wabah Covid-19. Hal ini sangat menekan perekonomian negara dan menggerus permintaan terhadap komoditas energi termasuk minyak.
Harga minyak juga dapat terdorong oleh pelemahan dolar AS yang membuat komoditas lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya. Indeks dolar AS terpantau melemah 0,423 poin atau 0,41 persen ke level 102,727 pada pukul 09.02 WIB.
Namun, Bloomberg Intelligence memperkirakan penguatan minyak mentah diperkirakan tertahan di kisaran US$110 per barel mengingat permintaan China yang lesu, dengan pertumbuhan ekonomi masih goyah akibat upaya Beijing menekan penyebaran Covid-19.