Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah terpantau menguat pada pembukaan perdagangan akhir pekan ini, Jumat (20/5/2021). Penguatan juga terpantau pada beberapa mata uang lain di kawasan Asia.
Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah dibuka menguat 79,00 poin atau 0,54 persen ke posisi Rp14.644,00 per dolar AS. Beriringan dengan itu, indeks dolar AS turut menguat 0,2820 poin atau 0,27 persen di posisi 103,0060.
Selain rupiah, beberapa mata uang lain di kawasan Asia lain yang dibuka berbalik menguat di antaranya won Korea Selatan dibuka naik 0,64 persen, peso Filipina naik 0,31 persen, ringgit Malaysia naik 0,17 persen, dan dolar Taiwan menguat 0,16 persen terhadap dolar AS.
Di sisi lain yuan China dibuka mengalami pelemahan 0,24 persen, yen Jepang turun 0,23 persen, baht Thailand turun 0,01 persen, dan dolar Singapura yang juga turun 0,01 persen terhadap dolar AS.
Adapun Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan bahwa pemerintah akan kembali membuka ekspor minyak goreng dan CPO mulai Senin (23/5/2022) mendatang.
Direktur MNC Asset Management Edwin Sebayang dalam riset hariannya menuliskan rupiah pada hari ini berpeluang bergerak dalam rentang Rp14.665 - Rp14.800 per dolar AS.
Baca Juga
“Pelemahan rupiah menjadi sentimen negatif pergerakan Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada hari ini,” katanya, Jumat (20/5/2022).
Adapun dolar AS tergelincir secara luas pada akhir perdagangan Kamis (19/5/2022) waktu setempat, jatuh ke level terendah dua minggu, memperpanjang kemundurannya dari tertinggi dua dekade.
Mengutip Antara, Jumat (20/5/2022), dengan meningkatnya volatilitas di pasar keuangan global, dolar mencatat penurunan tajam terhadap yen Jepang dan franc Swiss, yang cenderung menarik investor pada saat terjadi tekanan atau risiko pasar.
Tetapi dolar juga bernasib buruk terhadap mata uang berisiko, termasuk dolar Australia dan Selandia Baru, karena kerugian sejauh tahun ini dalam untuk mata uang ini telah menarik beberapa pembeli.
"Investor mungkin sudah cukup dengan dolar AS dan mencari untuk mendiversifikasi risiko, terutama karena dukungan dolar AS yang lebih luas dari kenaikan imbal hasil AS tampaknya telah maksimal," kata Kepala Strategi Mata Uang Scotia Bank, Shaun Osborne.