Bisnis.com, JAKARTA - PT XL Axiata Tbk. (EXCL) resmi mengakuisisi PT Link Net Tbk. (LINK) pada 27 Januari lalu. EXCL melakukan Perjanjian Jual Beli Saham Bersyarat (PJB) terhadap sejumlah 66,03% saham PT Link Net Tbk. (LINK) dengan harga pembelian yang telah disepakati senilai Rp4.800 per saham biasa atau sekitar Rp 8,72 triliun.
Analis BRI Danareksa Sekuritas Niko Margaronis menilai, akuisisi LINK oleh EXCL akan membuka banyak peluang bagi EXCL.
"Kesepakatan dengan LINK menarik dalam banyak hal. Pertama, kesepakatan ini menawarkan disrupsi ke pasar ritel," ujar Niko dalam risetnya, dikutip Minggu (27/2/2022).
Niko juga berharap perusahaan telekomunikasi meningkatkan fokusnya ke ICT, dengan EXCL mendapatkan dorongan yang besar di segmen business to business (B2B) karena sekitar 16 persen dari topline LINK senilai Rp4 triliun disumbangkan oleh perusahaan.
Terlebih lagi, pemegang saham XL Axiata, Ferrymount Ltd yang dua per tiga sahamnya dikendalikan oleh Provident Capital dan sepertiga sisanya oleh Komisaris Lippo Karawaci, George Zage III, akan memberikan XL Axiata lebih banyak prospek untuk melakukan kolaborasi digital di ritel dan B2B.
"Provident adalah pemegang daham di Gojek dan jejaknya di area pemukiman seharusnya memberikan tawaran e-commerce yang menarik," ucapnya.
Baca Juga
Sebagaimana diketahui, Ferrymount membeli 553.409.349 saham atau setara 4,97 persen saham EXCL dari Axiata Group Bhd pada 27 Oktober 2021 lalu.
Adapun BRI Danareksa Sekuritas merekomendasikan untuk buy saham EXCL dengan target harga atau target price (TP) Rp4.250 per saham. BRI Danareksa mengasumsikan secara konservatif sektor telekomunikasi akan tumbuh sekitar 5 persen pada 2022 dengan EXCL berada di posisi yang lebih baik daripada pasar.
"Kami mengasumsikan pertumbuhan kinerja sekitar 6 persen bagi EXCL dengan potensi disrupsi fixed-mobile convergence," tuturnya.
Risiko utama menurut BRI Danareksa Sekuritas adalah meningkatnya likuiditas untuk mendanai akuisisi LINK dan meningkatnya belanja modal. BRI Danareksa Sekuritas setuju dengan adanya ruang terbatas bagi industri untuk mengalihkan perhatian dengan perang harga menjelang siklus 5G.