Bisnis.com, JAKARTA – Tren kenaikan harga minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) pada tahun ini diyakini akan berdampak positif terhadap kinerja dua emiten sawit milik Grup Salim, PT Perusahaan Perkebunan London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP) atau Lonsum dan PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP).
Berdasarkan data dari Bursa Malaysia pada Senin (25/10/2021), harga CPO kontrak Januari 2022 sempat menyentuh level setelmen 5.071 ringgit per ton pada pekan lalu. Level harga tersebut kemudian menurun pada perdagangan hari ini di 4.924 ringgit per ton.
Salah seorang trader David Ng menyebutkan kenaikan harga pada minyak biji kedelai di Chicago Board of Trade (CBOT) dan minyak mentah juga menopang kenaikan harga CPO.
“Sentimen tetap bullish yang didukung oleh fundamental yang kuat. Sebelumnya level harga CPO tertinggi adalah pada 5.066 ringgit per ton. Kami perkirakan level support CPO berada di 4.900 ringgit dan resistance pada 5.150 ringgit per ton,” jelasnya dikutip dari The Edge Markets, Senin (25/10/2021).
Lonjakan harga CPO turut berdampak positif bagi perusahaan terkait, tidak terkecuali kedua emiten sawit dibawah Salim Group. Berdasarkan laporan keuangan perseroan, Lonsum mencatatkan laba bersih senilai Rp501 miliar pada semester I/2021. Jumlah tersebut meroket 445 persen dibandingkan dengan laba bersih pada semester I/2020 lalu senilai Rp92 miliar.
Kenaikan laba emiten bersandi saham LSIP tersebut ditopang oleh pertumbuhan penerimaan perusahaan. Lonsum tercatat membukukan pendapatan dari kontrak dengan pelanggan sebesar Rp2,17 triliun. Pencapaian itu naik 39,1 persen dibandingkan dengan perolehan semester I/2020 sebesar Rp1,56 triliun.
Baca Juga
Secara rinci, pendapatan dari sektor MKS masih menjadi kontributor tertinggi dengan Rp1,68 triliun, naik dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp1,25 triliun. Selanjutnya, pendapatan dari inti sawit dan produk terkait adalah senilai Rp354,66 miliar.
Selanjutnya, pendapatan dari segmen karet tercatat sebesar Rp83,22 miliar disusul oleh penerimaan lain-lain sebanyak Rp52,52 miliar.
“Kenaikan terjadi seiring dengan peningkatan volume penjualan dan harga jual rata-rata (ASP) produk sawit. Pada semester I/2021, ASP CPO dan inti sawit (PK) naik masing-masing sebesar 25% yoy dan 56% yoy,” demikian penjelasan manajemen dikutip dari keterangan resmi.
Sementara itu, SIMP yang merupakan emiten produsen minyak goreng Bimoli berhasil membalikkan kondisi rugi menjadi laba pada paruh pertama tahun 2021.
SIMP membukukan laba tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada entitas induk sebesar Rp219 miliar pada semester I/2021, kontras dengan rugi tahun berjalan sebesar Rp301 miliar pada semester I/ 2020.
Manajemen SIMP memaparkan, kenaikan harga CPO akan berimbas positif bagi kinerja perusahaan di sisa tahun 2021. Laba SIMP turut dipengaruhi oleh harga komoditas dan produksi.
Saat ini, harga CPO berada pada posisi yang tinggi dan kedepannya diprediksi masih berfluktuasi. Dari sisi produksi, berdasarkan data historis, produksi Tandan Buah Segar (TBS) pada semester II umumnya lebih tinggi dibandingkan produksi di semester I.
“Perbandingannya adalah 45% di semester 1 dan 55% di semester II,” jelas manajemen SIMP dalam paparan publik belum lama ini.
Senada, Manajemen Lonsum juga mengatakan tren positif harga CPO akan berimbas baik bagi kinerja perusahaan. Seiring dengan hal tersebut, LSIP akan tetap fokus untuk melakukan efisiensi dan kegiatan replanting bagi tanaman yang sudah tua, yaitu tanaman berumur di atas 25 tahun -3 0 tahun.
Selain itu, Lonsum masih memiliki lahan-lahan baru yang belum ditanam, sehingga perusahaan akan melakukan penanaman baru yang diperkirakan hampir 1.000 hektar pada tahun 2021. LSIP memperkirakan pertumbuhan produksi sampai dengan 5% untuk tahun ini.
Namun, hal ini juga perlu diperhitungkan dengan kondisi cuaca saat ini, dimana pada semester I/2021 tahun ini Indonesia mengalami siklus La Nina moderat yang membuat cuaca menjadi lebih basah.
“Untuk kegiatan replanting di tahun 2021 diperkirakan kurang lebih sekitar 1.000 hektar-1.500 hektar,” jelas manajemen LSIP.
Kenaikan harga CPO juga akan berimbas pada salah satu produk turunannya, yakni minyak goreng. Sejauh ini, harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng dipatok pada Rp11.000 per liter.
Head of Equity Trading MNC Sekuritas Medan Frankie Wijoyo Prasetio menjelaskan tren kenaikan harga CPO merupakan imbas dari krisis energi global.
Ia menjelaskan, CPO umumnya digunakan sebagai campuran bahan bakar, khususnya bio diesel yang digunakan untuk mengganti ataupun memperkecil porsi penggunaan minyak bumi sebagai pembangkit listrik.
“Selain itu, sumber energi lain seperti bahan bakar fosil dan gas juga mengalami kenaikan harga sepanjang tahun ini,” jelasnya saat dihubungi pada Senin (25/10/2021).
Dampak positif harga komoditas ini juga telah terlihat pada kinerja LSIP dan SIMP yang mempu membukukan pertumbuhan laba dan penjualan. Bahkan, SIMP mampu membalikkan keadaan rugi pada paruh pertama tahun 2020 menjadi laba.
Proyeksi Kinerja
Frankie memprediksi, tren reli harga CPO masih akan berlanjut hingga akhir tahun 2021. Hal tersebut membuat LSIP dan SIMP masih memiliki ruang pertumbuhan untuk pendapatan sampai penutupan tahun ini.
“Dari pertumbuhan kinerja di semester I ini, menjadi cerminan bahwa kedua emiten ini cukup baik dalam memanfaatkan momen kenaikan harga CPO tahun ini dan juga dalam efisiensi perusahaan,” jelas Frankie.
Seiring dengan hal tersebut, Frankie menyematkan rekomendasi beli (buy) baik untuk SIMP maupun LSIP. Frankie memberikan target harga resistance Rp595 untuk SIMP hingga akhir tahun, sementara itu, LSIP dipatok pada kisaran Rp1.500 – Rp1.600.
Hal serupa diungkapkan oleh Analis Kiwoom Sekuritas Sukarno Alatas. Menurutnya, dampak kenaikan harga CPO terhadap kinerja LSIP dan SIMP diyakini akan signifikan mengingat reli harga yang masih terjadi.
“Bahkan dari penutupan semester I/2021 hingga saat ini, terlihat CPO kembali menguat sampai 36 persen.” Jelasnya.
Adapun Sukarno juga merekomendasikan untuk membeli kedua saham tersebut. Menurutnya, LSIP dan SIMP masih memiliki potensi kenaikan sekitar 5 persen hingga 15 persen sampai akhir tahun.
Meski demikian, ia mengatakan harga LSIP dan SIMP kemungkinan akan mengalami konsolidasi terlebih dahulu dalam jangka pendek setelah sempat menguat signifikan.
“Untuk SIMP target harganya pada kisaran Rp545, sedangkan LSIP di level Rp1.560,” jelasnya.
Sementara itu, Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Juan Harahap melalu risetnya menyebutkan laba bersih LSIP di akhir tahun ini akan tumbuh seiring dengan kenaikan rata-rata harga jual dan volume penjualan. Sentimen tersebut turut ditopang oleh prospek kenaikan produksi CPO perusahaan seiring dengan kondisi cuaca yang kondusif.
Juan memperkirakan penjualan CPO LSIP akan bertumbuh 7,3 persen secara year on year hingga akhir tahun ini. Sehingga, laba bersih perusahaan diperkirakan sebesar Rp968 miliar, atau naik 39,1 persen dari catatan tahun 2020 sebesar Rp696 miliar.
Sementara itu, pendapatan perusahaan diproyeksikan pada level Rp4,7 triliun, juga naik dari torehan tahun 2020 senilai Rp3,53 triliun.
“Kami juga meyakini bahwa LSIP juga akan diuntungkan dengan adanya revisi bea ekspor CPO,” jelas Juan dikutip dari risetnya.
Seiring dengan hal tersebut, Juan merekomendasikan investor untuk membeli LSIP dengan target harga Rp1.500 dengan rasio price to earning (P/E) sebesar 7,5 kali dan rasio price to book (P/B) sebanyak 0,7 kali.