Bisnis.com, JAKARTA – Manajemen PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) menilai tekanan harga saham setelah IPO merupakan hal yang wajar. Perseroan juga menyebutkan sedang memperkokoh fundamental, alih-alih melakukan intervensi pasar terhadap sahamnya.
Presiden Bukalapak Teddy Oetama mengatakan berkaca dari Google hingga Sea Limited, secara umum wajar ketika pergerakan saham perusahaan teknologi yang baru IPO cenderung turun.
Menurutnya, perusahaan teknologi yang baru membuka diri memiliki harga saham yang diam tempat bahkan cenderung menurun.
"Rata-rata IPO teknologi di dunia seperti Google, Facebook, Alibaba, Sea Limited itu begitu IPO harganya gak kemana-mana dulu bahkan cenderung agak trending down," ungkap Teddy dalam unggahan Instagram @emtrade_id, dikutip Rabu (22/9/2021).
Sementara itu, hingga 14:50 WIB pada perdagangan Rabu (22/9/2021) saham BUKA terpantau naik 0,59 persen ke level Rp855 per saham. Harga tersebut beda tipis dari harga pelaksanaan listing BUKA Rp850 pada 6 Agustus 2021.
Di sisi lain, Teddy juga menepis pandangan investor yang menilai ada seseorang yang berusaha menguasai harga pasaran IPO Bukalapak. Menurutnya, nilai IPO sebesar US$1,5 miliar agak sulit ada yang mampu menguasainya.
Baca Juga
"Ini IPO US$1,5 miliar, jadi kalau ada pandangan dari investor ini bisa kayak corner atau gimana, kayaknya gak ada yang mampu dengan US$1,5 miliar, ini besar banget," imbuhnya.
Pada IPO, BUKA menawarkan sebanyak 25,76 miliar lembar saham kepada publik atau 25 persen dari total modal ditempatkan dan disetor penuh, dengan harga penawaran Rp850 per saham.
Dengan demikian, perseroan meraih dana segar mencapai Rp21,9 triliun dari IPO. Jumlah merupakan dana hasil penghimpunan terbesar sepanjang sejarah Bursa Efek Indonesia.
Lebih lanjut, Teddy menambahkan dari sisi manajemen BUKA sedang berupaya untuk memperbaiki dan memperkokoh fundamental perseroan.
“Dari sisi manajemen, kita melihat yang penting kita kuatkan fundamental,” pungkasnya.
Dari sisi kinerja keuangan per 30 Juni 2021, emiten teknologi berstatus unikorn ini mencatatkan kerugian bersih senilai Rp766,23 miliar, turun dibandingkan periode yang sama dengan tahun sebelumnya Rp1,02 triliun.