Bisnis.com, JAKARTA - Instruksi Presiden No.8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit alias kebijakan moratorium sawit akan berakhir pada 19 September 2021.
Namun, sampai saat ini, pemerintah belum memberikan titik terang soal kelanjutan kebijakan moratorium tersebut.
Lewat aturan ini, Presiden Joko Widodo menginstruksikan pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk mengevaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit dan meningkatkan produktivitas perkebunan. Selain itu, pemerintah diminta untuk menunda pemberian izin pelepasan atau tukar-menukar kawasan hutan dengan perkebunan kelapa sawit.
Terkait hal tersebut, Direktur Utama Sampoerna Agro Budi Setiawan Halim belum mengindikasikan adanya rencana pembukaan lahan baru apabila moratorium sawit diangkat.
Meski demikian, Budi mengatakan perusahaan telah mencanangkan kebijakan NDPE (No Deforestation, No Peat, No Exploitation) sebagai upaya dalam menjaga kelestarian lingkungan. Kebijakan tersebut berarti SGRO tidak akan membuka lahan sawit pada hutan-hutan atau di lahan gambut.
“Terlepas dari moratorium diangkat atau tidak, kami sudah berkomitmen untuk tidak membuka lahan melalui deforestasi ataupun membuatnya di lahan gambut,” jelasnya pada paparan publik perusahaan, Jumat (10/9/2021).
Baca Juga
Sebelumnya, serikat petani berharap kebijakan moratorium sawit dapat berlanjut. Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto menilai jumlah izin perkebunan sawit di Indonesia sudah banyak dengan luas area tutupan sawit mencapai 16,38 juta hektare.
Dengan cakupan luas tersebut, Indonesia masih menikmati surplus pasokan mendekati 5 juta ton setiap tahunnya.
“Kalau pemerintah memutuskan untuk tidak memperpanjang akan berbahaya bagi sawit Indonesia. Produksi kita selama moratorium sudah surplus. Jika ditambah dengan peningkatan produktivitas dan pemberian izin perkebunan baru, akan kontradiktif dengan program peremajaan sawit rakyat,” katanya.