Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah melanjutkan penurunannya setelah mencatat pelemahan mingguan terburuk sejak Oktober di tengah peningkatan Covid-19 yang menimbulkan kekhawatiran terhadap prospek permintaan jangka pendek.
Berdasarkan data Bloomberg, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) terpantau melemah 2,49 persen atau 1,70 poin ke level US$66,58 per barel di New York Mercantile Exchange pada pukul 13.27 WIB.
Sementara itu, harga minyak Brent untuk pengiriman Oktober turun 2,35 persen atau 1,66 poin ke level US$69,04 per barel di ICE Futures Europe exchange.
WTI melemah meninggalkan level US$67 per barel setelah meluncur hampir 8 persen minggu lalu. Lonjakan kasus Covid-19 menyebabkan Goldman Sachs Group Inc. menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonominya untuk China, yang baru-baru ini menyelesaikan program tes massal di Wuhan menyusul munculnya kasus baru yang dikonfirmasi. Infeksi juga meningkat di AS dan Thailand.
Penguatan dolar AS juga melemahkan daya tarik bahan mentah seperti minyak dan emas. Dolar AS menahan kenaikan setelah melonjak pada hari Jumat menyusul laporan pekerjaan AS yang kuat yang memicu spekulasi bahwa Federal Reserve akan mulai mengurangi stimulusnya.
Minyak telah mengalami tekanan yang kuat bulan ini karena virus corona varian delta yang menyebar cepat ke seluruh dunia, yang mengarah pada pembatasan baru di beberapa wilayah dan bertepatan dengan peningkatan produksi dari OPEC+. Badan Energi Internasional akan memberikan outlook terbaru pasar minyak pada hari Kamis mendatang.
Baca Juga
OPEC+ akan membuat kenaikan pasokan bulanan menjadi 400.000 barel per hari mulai Agustus dan berlanjut hingga semua produksinya yang dihentikan selama pandemi dijual kembali. Meskipun gejolak Covid-19 terbaru mengaburkan prospek, masih ada ekspektasi bahwa pasar akan dapat menyerap tambahan produksi karena permintaan meningkat.
“Minyak tampaknya terjebak dalam pergerakan pasar yang lebih luas di seluruh komoditas,” kata analis komoditas senior Australia and New Zealand Banking Group Ltd Daniel Hynes, seperti dikutip Bloomberg.
“Indikator menunjukkan permintaan masih kuat di pasar utama seperti AS dan Eropa, dan saya tidak bisa melihat aksi jual ini berlanjut terlalu lama jika itu tetap terjadi,” lanjutnya.