Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah ditutup melemah pada awal pekan ini Senin (9/8/2021) seiring dengan adanya potensi peningkatan permintaan dolar AS.
Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah ditutup terkoreksi 0,07 persen atau 10 poin menjadi Rp14.362,5 per dolar AS. Hal yang sama terjadi pada indeks dolar AS terpantau melemah 0,01 persen ke level 92,7910 pada pukul 15.41 WIB.
Sebelumnya VP Economist Bank Permata Josua Pardede mengatakan, nilai tukar rupiah akan cenderung bergerak melemah terbatas pada Senin (9/8/2021) pekan depan. Hal ini terjadi seiring dengan proyeksi data non farm payroll (NFP) AS yang diproyeksi lebih tinggi dari perkiraan.
“Rupiah diperkirakan bergerak pada kisaran Rp14.300 – Rp14.400,” katanya saat dihubungi.
Josua memaparkan, kenaikan NFP diperkirakan kembali mendorong ekspektasi percepatan proses tapering dari The Fed. Hal ini berpotensi meningkatkan permintaan terhadap dolar AS.
Penguatan dolar AS juga ditopang oleh rilis data inflasi AS pada pertengahan minggu depan. Meski demikian, bila indikator AS lebih buruk dibandingkan ekspektasi, maka pergerakan dolar akan cenderung berbalik arah.
Baca Juga
VP Economist Bank Permata Josua Pardede mengatakan, nilai tukar rupiah akan cenderung bergerak melemah terbatas pada Senin (9/8/2021) pekan depan. Hal ini terjadi seiring dengan proyeksi data non farm payroll (NFP) AS yang diproyeksi lebih tinggi dari perkiraan.
“Rupiah diperkirakan bergerak pada kisaran Rp14.300 – Rp14.400,” katanya saat dihubungi.
Josua memaparkan, kenaikan NFP diperkirakan kembali mendorong ekspektasi percepatan proses tapering dari The Fed. Hal ini bepotensi meningkatkan permintaan terhadap dolar AS.
Penguatan dolar AS juga ditopang oleh rilis data inflasi AS pada pertengahan minggu depan. Meski demikian, bila indikator AS lebih buruk dibandingkan ekspektasi, maka pergerakan dolar akan cenderung berbalik arah.
Sementara itu, Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menjelaskan penguatan dolar AS terjadi karena investor menantikan laporan ketenagakerjaan di AS.
Data tersebut dinilai dapat mengindikasikan AS bakal memperketat kebijakan moneternya lebih awal dari Eropa dan Jepang, yang mana di kedua wilayah tersebut prospeknya tampak masih jauh.
Pernyataan Wakil Ketua Fed Richard Clarida awal pekan ini tentang kondisi menaikkan suku bunga dapat terjadi pada akhir 2022 telah memicu kekhawatiran pengurangan stimulus dapat dimulai pada awal tahun ini.
“Pandangannya digaungkan oleh Gubernur Fed Christopher Waller ketika pemulihan ekonomi dari Covid-19 berlanjut dan pasar tenaga kerja membaik,” tulis Ibrahim dalam riset harian, Jumat (6/8/2021).