Bisnis.com, JAKARTA – PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) dikabarkan akan melakukan restrukturisasi bisnis yang mencakup pengurangan jumlah armada pesawat hingga 50 persen.
Berdasarkan laporan dari Bloomberg, Minggu (23/5/2021), Direktur Utama GIAA Irfan Setiaputra dalam pernyataannya kepada karyawan perusahaan mengatakan emiten penerbangan pelat merah ini harus melakukan restrukturisasi total.
Upaya tersebut perlu dilakukan guna mengatasi krisis yang diakibatkan oleh pandemi virus corona. Salah satu bentuk restrukturisasi tersebut adalah melalui pengurangan armada pesawat yang operasional.
Dalam pernyataan tersebut, Irfan juga mengatakan Garuda Indonesia memiliki utang sebesar Rp70 triliun atau US$4,9 miliar. Jumlah utang tersebut bertambah lebih dari Rp1 triliun per bulannya seiring dengan penundaan pembayaran yang dilakukan perusahaan kepada pada pemasok.
Sejauh ini, GIAA belum merilis laporan keuangan tahunan penuh untuk 2020. Laporan keuangan yang telah disampaikan merupakan kinerja emiten penerbangan pelat merah tersebut hingga kuartal III/2020.
Berdasarkan laporan keuangan yang dikutip dari keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, GIAA tercatat mengalami rugi bersih sebesar US$1,07 miliar. Posisi tersebut berbanding terbalik dibandingkan catatan pada kuartal III/2019 saat GIAA meraup laba bersih US$122,42 juta.
Baca Juga
Penyebab utama penurunan itu adalah anjloknya pendapatan dari penerbangan berjadwal yang menjadi sumber utama pendapatan perseroan. Kontribusi pendapatan dari penerbangan berjadwal pada kuartal III/2020 tercatat sebesar US$917,28 juta, jauh dibawah perolehan kuartal III/2019 sebesar US$2,79 miliar.
Penerimaan perusahaan dari sektor penerbangan tidak berjadwal juga anjlok cukup dalam. Perusahaan hanya mampu mencetak pendapatan US$46,92 juta berbanding torehan kuartal III/2019 senilai US$249,91 juta.
Sementara itu, beban usaha berhasil diturunkan dari US$3,28 miliar menjadi US$2,24 miliar, atatu turun 31,7 persen. Beban operasional penerbangan tercatat turun 32,64 persen dari US$1,93 miliar menjadi US$1,3 miliar.
Dengan performa tersebut, perseroan membukukan rugi periode berjalan senilai US$1,09 miliar, berbalik dari posisi untung US$181,51 juta pada kuartal I/2019.
Dari sisi kewajiban, per akhir September, Garuda Indonesia tercatat memiliki liabilitas sebesar US$10,36 miliar, melesat 177,74 persen dibandingkan catatan kuartal III/2019 sebesar US$3,73 miliar.
Kewajiban ini terdiri dari liabilitas jangka panjang senilai US$5,65 miliar dan jangka pendek senilai US$4,69 miliar.