Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup melemah pada perdagangan terakhir pekan ini, Jumat (5/2/2021). Analis menilai sentimen eksternal dinilai lebih memengaruhi dibandingkan dengan rilis PDB dalam negeri.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah parkir di level 14.030 setelah melemah 15,00 poin atau 0,11 persen. Padahal, di nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menguat 5 poin atau 0,04 persen ke level Rp14.020.
Pergerakan rupiah juga sejalan dengan mata uang lain di Bursa Asia. Won Korea menjadi mata uang Asia yang terdepresiasi paling dalam yakni 0,48 persen, diikuti oleh ringgit Malaysia yang melemah 0,21 persen.
Kepala Riset dan Edukasi Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan pergerakan rupiah yang terdepresiasi akibat mata uang Garuda mendapat tekanan dari dollar Amerika Serikat (AS) yang tengah menguat.
Menurutnya, dolar AS sedang bergairah seiring prospek pemulihan ekonomi AS. Apalagi data-data ekonomi AS yang dirilis belakangan seperti data tenaga kerja dan data survei aktivitas sektor manufaktur dan jasa, lebih baik dari ekspektasi dan masih berekspansi.
Selain itu, tambah Ariston, ekspektasi perilisan stimulus fiskal AS senilai US$1,9 triliun juga dianggap mendukung prospek pemulihan ekonomi AS sehingga mata uang greenback terus menanjak.
Baca Juga
“Di sisi lain, minat pasar terhadap aset berisiko masih tinggi karena prospek stimulus AS tersebut. Ini menahan pelemahan nilai tukar rupiah lebih jauh,” katanya kepada Bisnis, (5/2/2021)
Sementara itu untuk sentimen dari dalam negeri, pada Jumat (5/2/2021) pagi tadi Badan Pusat Statistik mengumumkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia untuk 2020 yang -2,07 persen.
Ariston menilai PDB yang negatif turut menekan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Namun, bukan menjadi sentimen utama yang membuat mata uang Indonesia melemah.
“Bukan [karena rilis PDB] karena dari pagi sentimen eksternal sudah menekan rupiah,” imbuh Ariston.
Terpisah, Direktur PT TRFX Garuda Ibrahim Assuaibi mengatakan sejumlah sentimen negatif baik dari dalam dan luar negeri menjadi penghambat laju rupiah pada akhir pekan ini.
Dari eksternal, Ibrahim menilai analis dan investor sedang menimbang apakah kekuatan dolar tahun ini adalah penyesuaian posisi sementara setelah penurunan 7 persen untuk indeks dolar pada tahun 2020, atau pergeseran jangka panjang dari pesimisme dolar.
“Imbal hasil Treasury AS jangka panjang juga sedang mengalami kenaikan, dengan kemajuan langkah-langkah stimulus AS lebih lanjut. Di sisi lain data ketenagakerjaan AS yang positif pada Kamis juga membantu meningkatkan sentimen investor,” tutur Ibrahim.
Sementara dari dalam negeri, sentimen datang dari kemungkinan penerapan kembali PSBB ketat. Di saat yang sama perkembangan dari proses vaksinasi di dalam negeri juga belum terlihat dampaknya.
Di perdagangan terakhir pekan ini juga Badan Pusat Statistik menyampaikan kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang triwulan IV-2020 bahwa Pertumbuhan Domestik BrutoI 2020 meskipun masih -2,07 persen (yoy).
Namun, Ibrahim mengatakan hasil sudah menunjukan sinyal positif dimana ekonomi didukung perbaikan konsumsi rumah tangga dan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) begitupula dengan kinerja sektor usaha mulai pulih.
“Jeleknya data baik dari eksternal maupun internal membuat mata uang rupiah melemah tipis, dan ini bisa terlihat dari keluarnya arus modal asing dari pasar finansial dalam negeri,” pungkas Ibrahim.