Bisnis.com, JAKARTA - Kapitalisasi pasar saham Korea Selatan mencetak rekor di tengah optimisme kebijakan Amerika Serikat yang lebih dapat diprediksi di bawah pemerintahan baru hasil pemilu.
Dilansir dari Bloomberg, kapitalisasi indeks acuan Kospi mencapai 1.703 triliun atau sekitar US$1,5 triliun pada penutupan perdagangan kemarin, Rabu (11/11/2020). Kapitalisasi pasar indeks Kosdaq yang sarat emiten teknologi juga mencapai 2.032 triliun.
Investor asing telah memborong saham-saham anggota indeks Kospi selama enam hari beruntun sejak 5 November 2020. Reli tersebut merupakan yang terpanjang sejak Januari 2020.
Dalam periode menjelang kemenangan Joe Biden, investor asing mencetak net buy atau beli bersih sebesar 3,2 triliun won selama enam hari yang berakhir Kamis (12/11/2020).
Rebound di Bursa Korea Selatan merupakan pertanda baik yang mana dalam periode tahun berjalan, investor asing mencetak net sell US$21,6 miliar. Jumlah tersebut merupakan outflow terbesar di luar wilayah Jepang.
Pasar saham Korea Selatan mengalami kerugian selama AS dan China memulai perang dagang. Indeks Kospi mencetak kinerja terburuk dalam indeks MSCI Asia Pasifik antara 2017 dan 2019.
Baca Juga
Pada Mei 2019, bursa Korea Selatan mencetak koreksi terbesar di Asia. Kospi juga melorot 17 persen pada 2018, penurunan terbesar sejak 2011.
Untuk diketahui, sebanyak dua pertiga produk semikonduktor Korea Selatan diserap pasar China. Analis optimis pemerintahan Biden akan memiliki sikap yang kurang agresif terhadap ekonomi China.
Selain itu, meningkatnya taruhan bahwa dolar akan terus melemah di bawah Biden mendorong investor untuk berduyun-duyun ke aset pasar berkembang, kata Frank Benzimra, kepala strategi ekuitas Asia di Societe Generale di Hong Kong. Korea menyumbang 11,9% dari bobot MSCI Emerging-Markets Index.
"Tren arus ekuitas negara berkembang adalah arus masuk besar-besaran ke Cina dan sebagian besar arus keluar di tempat lain," katanya.
“Sekarang, Anda melihat beberapa diversifikasi ke bagian lain dari Emerging Market, karena keyakinan bahwa dolar AS akan melemah sehingga ada kebutuhan untuk mendiversifikasi aset,” lanjutnya.