Bisnis.com, JAKARTA – Pemilihan presiden Amerika Serikat yang semakin dekat membuat harga emas dunia mengalami penurunan dalam dua hari terakhir dan sempat meninggalkan level US$1.880 per troy ounce.
Meski demikian, kilau harga emas akan kembali setelah periode ini seiring dengan kejelasan paket stimulus.
Dilansir dari Bloomberg pada Kamis (29/10/2020), harga emas di pasar Comex kembali melanjutkan tren penurunannya. Harga emas keluar dari level US$1.880 per troy ounce pada Rabu (28/10/2020) kemarin dan ditutup pada kisaran US$1.879,20 per troy ounce.
Tren pelemahan tersebut berlanjut hingga pertengahan hari Kamis. Harga emas sempat menyentuh level US$1.876,10 per troy ounce sebelum bergerak naik secara perlahan. Hal serupa juga terjadi pada harga emas di pasar spot yang sempat mencapai level US$1.876,22 per troy ounce.
Penurunan harga emas juga terjadi di Indonesia. Harga emas batangan 24 karat PT Aneka Tambang Tbk. atau emas Antam pada hari Kamis (29/10/2020) terpantau lebih rendah dibandingkan dengan harga perdagangan sehari sebelumnya.
Berdasarkan informasi Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia Antam, harga emas 24 karat ukuran 1 gram dipatok Rp995.000 per gram, anjlok hingga Rp12.000 per gram dari harga pada perdagangan sebelumnya.
Baca Juga
Untuk emas satuan terkecil, 0,5 gram dibanderol Rp527.500, juga turun hingga Rp6.000 dari harga Rp533.500 pada perdagangan kemarin.
Analis Capital Futures Wahyu Laksono mengatakan, harga emas saat ini sedang berada dalam tahap korektif konsolidasi. Hal ini tidak hanya tejadi pada emas, tetapi juga komoditas dan mata uang besar lainnya.
Salah satu faktor yang mempengaruhi pergerakan emas adalah kembali meluasnya penyebaran virus Corona di Amerika Serikat dan Eropa. Hal ini membuat pemerintah setempat kembali memberlakukan lockdown.
“Sentimen ini membuat nilai mata uang dolar AS sebagai lawan dari komoditas seperti emas mengalami tren penguatan beberapa hari belakangan,” katanya.
Wahyu mengatakan, faktor utama yang mempengaruhi fluktuasi harga emas saat ini adalah isu pemilihan presiden Amerika Serikat yang semakin dekat.
Dalam beberapa waktu terakhir, para pelaku pasar telah mengantisipasi skenario “gelombang biru” atau sapu bersih kemenangan Partai Demokrat pada lantai Senat dan pemilihan presiden.
Namun, memasuki pekan-pekan terakhir jelang pemilihan, sejumlah isu seperti kecurangan dari pihak eksternal membuka peluang terjadinya peristiwa pada 2016 lalu terulang saat calon petahana Donald Trump berhasil unggul tipis atas kandidat presiden dari Partai Demokrat saat itu, Hillary Clinton.
Skenario tersebut, lanjut Wahyu, menimbulkan risiko bahwa hasil pemilu tahun ini dapat diperdebatkan oleh kedua pihak. Di sisi lain, sentimen ini belum sepenuhnya diperhitungkan (priced-in) oleh pelaku pasar.
“Memang ada risiko kesalahan dalam pemilihan presiden 3 November besok yang dapat mengurangi validitas hasil pemilu tersebut. Hal ini membuat volatilitas harga emas saat ini cukup tinggi,” jelas Wahyu.
Menurutnya, prospek kenaikan harga emas ke depannya masih cukup terbuka. Dia mengatakan, kenaikan ini akan ditopang oleh antisipasi pelaku pasar yang menanti paket stimulus setelah pemilu AS usai, terlepas dari kemenangan Trump atau kandidat presiden dari Partai Demokrat Joe Biden.
Wahyu mengatakan, kemenangan Trump pada pemilihan presiden akan berimbas pada reli besar-besaran pada pasar ekuitas yang akan disusul oleh melesatnya harga emas.
Sementara itu, kemenangan Biden akan memicu terjadinya aksi jual di pasar saham. Namun, harga emas akan mengalami kenaikan seiring dengan lepasnya harga emas dari sentimen pasar modal.
“Dalam jangka menengah dan panjang, pergerakan bullish dari emas masih akan berlanjut,” ungkapnya.
Hal serupa diungkapkan oleh Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim. Menurutnya, penurunan harga emas saat ini terbilang wajar menyusul reli nilai mata uang, termasuk rupiah. Penurunan tersebut merespons sentimen ketiadaan stimulus fiskal serta pemilihan presiden AS.
Ibrahim melanjutkan, tren pelemahan tersebut masih dapat berlanjut dalam beberapa waktu ke depan.
“Potensi harga emas untuk kembali ke level US$1.830 per troy ounce masih terbuka,” ungkapnya.
Laporan Commodity Markets Outlook Oktober 2020 dari Bank Dunia menyatakan, harga emas melanjutkan tren kenaikannya selama delapan kuartal terakhir. Pada kuartal III/2020, harga emas telah melesat 12 persen dan mencapai harga tertingginya di level US$2.067 per troy ounce.
Laporan tersebut menyatakan, reli harga emas pada tahun ini ditopang oleh pandemi virus corona yang melanda dunia dan memberikan dampak positif bagi harga aset safe haven seperti emas.
“Pandemi virus Corona memacu adanya flight to safety bagi para investor seiring dengan ketidakpastian yang kian tinggi,” demikian kutipan laporan tersebut.
Laporan Bank Dunia juga melanjutkan, tingkat permintaan exchange-traded fund (ETF) emas secara year-on-year juga melonjak tiga kali lipat pada kuartal II/2020. Sementara itu, permintaan terhadap perhiasan turun 1,5 kali lipat dalam periode yang sama.
Selain itu, kebijakan akomodatif dari bank sentral sejumlah negara juga turut memacu kenaikan harga emas. Pelonggaran kebijakan moneter yang dilakukan membuat mata uang dolar AS melemah dan mengerek naik lawannya, yakni komoditas seperti emas.
Di sisi lain, terhambatnya produksi emas juga berpotensi membuat harga emas kian berkilau. Produksi emas yang terganggu pada sejumlah tambang di Meksiko, Peru, dan Afrika Selatan akibat pembatasan kerja karena pandemi virus Corona membuat pasokan emas tersendat.
Bank Dunia memprediksi harga emas pada tahun ini akan naik di kisaran 27,5 persen hingga akhir tahun 2020.
“Kenaikan di level serupa juga akan berlanjut pada 2021 seiring dengan pemulihan ekonomi global yang akan terjadi,” tulis Bank Dunia dalam laporannya.