Bisnis.com, JAKARTA - Aksi jual di pasar saham yang semula dinilai reaksi atas overheating saham-saham teknologi berbalik menjadi indikator pemulihan ekonomi Amerika Serikat. Sinyal tanda bahaya mau tidak mau menyala.
Meski menguat di sesi terakhir pekan ini, indeks S&P 500 mengalami penurunan mingguan keempat berturut-turut. Bukan saham Apple atau Tesla yang menjadi biang kerok, melainkan saham-saham komoditas dan perbankan yang menjadi pemimpin pelemahan indeks.
Dilansir dari Bloomberg, saham komoditas dan perbankan amat erat dengan pertumbuhan ekonomi. Saham maskapai dan emiten berkapitalisasi kecil-menengah juga sudah turun di bawah level perdagangan 200 hari terakhir.
"Orang-orang mengalihkan beberapa kekhawatiran dari hanya perspektif penilaian dan mempertimbangkan beberapa item lain yang kami tahu mengkhawatirkan. Ada beberapa ketidakpastian nyata yang membebani pasar," kata Wayne Wicker, kepala investasi dari Penasihat Investasi Vantagepoint, seperti dikutip melalui Bloomberg, Sabtu (26/9).
Indeks S&P 500 kehilangan 2,4% pada Rabu (23/9), setelah pejabat Federal Reserve memperingatkan tagihan pengeluaran baru diperlukan untuk mendorong pemulihan.
Prospek stimulus telah meredup pada awal pekan ketika Kongres mengalihkan perhatiannya untuk mengisi kekosongan Mahkamah Agung, mendorong para ekonom di JPMorgan Chase & Co dan Goldman Sachs Group Inc. untuk memangkas perkiraan pertumbuhan mereka.
Baca Juga
Ketika indeks S&P 500 makin tertekan dan bergeser 10 persen di bawah rekor tertinggi 2 September 2020, anggota parlemen menghidupkan kembali pembicaraan tentang stimulus. Faktor stimulus sangat mempengaruhi sentimen di pasar saham.
Wall Street tercatat rebound pada Kamis (24/9), malam dan rally Jumat (25/9), setelah Demokrat merevisi proposal mereka dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin mengisyaratkan dia siap untuk bernegosiasi lagi.
"Saat pasar saham bergerak ke wilayah koreksi, tiba-tiba mereka seperti, 'Ya ampun, kami tidak bisa duduk di sini tanpa melakukan apa-apa. Sekarang orang-orang mulai untuk menunjuk Kongres dan itu akan mengubah kebijakan mereka," kata Matt Maley, kepala strategi pasar di Miller Tabak + Co.
Selama berbulan-bulan, investor telah mengesampingkan valuasi yang berlebihan. Mereka bertaruh bahwa pemulihan ekonomi akan mendatangkan cuan, bahkan mendekati rasio harga berbanding pendapatan (price to earning ratio) tertinggi sejak gelembung dot-com.
Sementara pendapatan kuartal ketiga diperkirakan turun 22% dari tahun lalu, analis memperkirakan perusahaan Amerika akan kembali tumbuh pada tahun 2021. Perkiraan ini dikompilasi oleh Bloomberg Intelligence
Namun, tidak ada yang dapat menjamin prospek cerah itu, seperti yang diketahui investor pekan ini.
Sementara the Fed menggelontorkan dana US$3 triliun guna membantu memicu reli lima bulan yang dimulai pada bulan Maret, penyebaran virus yang menjadi semakin tidak terkendali menambah keterbatasan ruang gerak bank sentral.
“Ada tanda-tanda yang jelas bahwa pembukaan kembali ekonomi telah terhenti,” kata Marc Chaikin, pendiri Chaikin Analytics. "Kami benar-benar membutuhkan stimulus lain untuk membuat pasar kembali naik."
Tetapi peluang untuk mendapatkan stimulus fiskal lebih lanjut tahun ini terlihat tidak pasti, dengan anggota parlemen yang berfokus pada Mahkamah Agung dan pemilihan presiden yang berpotensi kacau pada bulan November.
Bila stimulus merupakan ketidakpastian, risiko penurunan sudah menjadi keniscayaan. Boleh jadi, yang terjadi sekarang, kinerja pasar saham di Amerika Serikat sudah menjadi tanda bahaya bagi perekonomian Negeri Paman Sam.