Bisnis.com, JAKARTA - Rupiah melanjutkan pelemahannya pada perdagangan Kamis (24/9/2020) seiring dengan dolar AS yang kian perkasa.
Berdasarkan data Bloomberg, hingga pukul 09.41 WIB rupiah berada di level Rp14.865 per dolar AS, melemah 50 poin atau 0,34 persen. Adapun, rupiah membuka perdagangan Kamis (24/9/2020) berada di level Rp14.815 per dolar AS.
Pada perdagangan Rabu (23/9/2020) rupiah ditutup melemah tipis 30 point dari yang sebelumnya 65 point di level Rp14.815 per dolar SA dari penutupan sebelumnya di level Rp14.785.
Rupiah kompak melemah bersama indeks harga saham gabungan (IHSG) yang hari ini ditutup terkoreksi 0,33 persen ke level 4.917,96. Pun, nilai transaksi tercatat mencapai Rp 6,62 triliun dan investor asing keluar Rp 203,26 miliar.
Di sisi lain, kinerja rupiah saat ini pun kompak dengan mayoritas mata uang Asia lainnya yang juga terkapar di zona merah.
Pelemahan mata uang Asia terjadi ketika indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang utama perkasa di level 94,37.
Baca Juga
Sebelumnya, Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan dalam perdagangan hari ini kemungkinan mata uang garuda belum bisa bangkit dan masih akan berkutat di zona merah.
“Kamis ini kemungkinan mata uang rupiah akan di buka melemah di 20—50 poin di level 14.800-14.870,” kata Ibrahim dalam risetnya, seperti dikutip Bisnis, Rabu (23/9/2020)
Ibrahim menyebut ada sejumlah sentimen yang perlu dicermati dalam pergerakan nilai tukar rupiah, salah satunya perkembangan rancangan Undang-Undang Bank Indonesia yang dianggap janggal oleh investor asing.
Pasalnya, amandemen UU BI tersebut dinilai bakal membuka peluang Menteri Keuangan bisa mempengaruhi BI untuk ikut mendanai defisit anggaran. Adapun RUU tersebut saat ini masih tahap awal dan di Banggar DPR.
Sementara itu, dari global setidaknya ada dua sentimen yakni rilis data ekonomis AS yang menunjukkan penjualan rumah melonjak hingga 6 juta pada Agustus dan kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga acuan mencapai rata-rata 2 persen.
Di sisi lain, munculnya kasus Covid-19 di Eropa dan AS mendorong investor untuk cenderung memilih mata uang greenback, apalagi dengan kemungkinan perpanjangan lockdown di Inggris.