Bisnis.com, JAKARTA — Performa obligasi Indonesia dan mata uang rupiah kini tampak menuju arah berlawanan seiring dengan dana asing belum kembali ke Tanah Air.
Pada kuartal III/2020, rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia, sedangkan imbal hasil obligasi pemerintah outperform dibandingkan negara lain.
Biasanya, kinerja pasar obligasi dan rupiah bergerak seirama karena kepemilikan asing yang besar. Namun, hal itu berubah ketika pemerintah menerbitkan surat utang dalam jumlah masif untuk stimulus pandemi dan Bank Indonesia mengambil langkah memonetisasi utang.
Saat ini, porsi kepemilikan asing di surat berharga negara (SBN) domestik yang dapat diperdagangkan telah menyusut hingga 29 persen atau terendah sejak 2012. Padahal, pada awal tahun ini, porsi kepemilikan asing di SBN mencapai 39 persen.
Foreign Exchange Strategist Malayan Banking (Maybank) Bhd. Yanxi Tan mengatakan data aliran modal asing menunjukkan investor global belum kembali ke Indonesia dan sebagian besar obligasi berdenominasi rupiah diserap oleh investor domestik.
“Ini tentu saja tidak memberikan tenaga ke rupiah,” kata Tan di Singapura, seperti dikutip dari Bloomberg pada Senin (24/8/2020).
Baca Juga
Namun demikian, pada akhirnya kepemilikan asing yang sedikit sebenarnya bisa menjadi sentimen positif bagi rupiah karena volatilitas bisa berkurang.
“Ketergantungan dengan hot money yang mulai berkurang bisa menurunkan volatilitas rupiah, para pembuat kebijakan akan lebih mudah memonitor dan mengelola sentimen,” ujar Tan.
Di pasar obligasi, sejak awal tahun ini investor asing mencatatkan jual bersih lebih dari US$7 miliar. Net sell itu merupakan yang terbesar di antara negara pasar berkembang (emerging market) setelah India.
Untuk mengimbanginya, Bank Indonesia pun mengambil langkah dengan komitmen membeli surat utang negara hinga US$20,3 miliar.
Asean FX and Rates Strategust Bloomberg Intelligence Philip McNicholas menambahkan, perbankan domestik juga ikut menyerap obligasi negara setelah bank sental memangkas suku bunga yang membuat suku bunga pinjaman turun.
Alhasil, imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun turun hingga 50 bps pada kuartal ini, tetapi rupiah masih tertekan 3,6 persen di hadapan dolar AS.
Selanjutnya, perlawanan arah performa obligasi dan rupiah ini diperkirakan berlanjut. Apalagi, Presiden Joko Widodo menyampaikan pemerintah akan meningkatkan belanja negara ke level tertinggi pada tahun depan dan meminta bantuan bank sentral untuk mendanai defisit anggaran.
“Hal ini akan meningkatkan kehawatiran mengenai monetisasi utang BI, yang diharapkan untuk sementara, tapi sepertinya akan berlanjut ke tahun depan,” kata McNicholas.
Lebih lanjut, McNicholas memperkirakan rasio kepemilikan asing di obligasi Indonesia akan terus berkurang karena pemerintah berencana meningkatkan likuiditas di SUN benchmark tenor 5 tahun dan 10 tahun yang baru.
Sementara itu, pada perdagangan Senin (24/8/2020) pukul 13.57 WIB naik 13 poin atau 0,88 persen menjadi Rp14.760 per dolar AS. Sepanjang 2020, rupiah masih melemah 6,06 persen, terdalam di Asia.