Bisnis.com, JAKARTA — PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menyebut peringkat utang perusahaan sulit untuk dinaikkan pada semester II/2020 karena perekonomian masih dibayang-bayangi sentimen negatif pandemi.
Adapun, rating perusahaan sub-sektor makanan dan minuman dinilai paling stabil pada paruh kedua tahun ini. Di sisi lain, sektor properti dan layanan jasa menjadi yang paling banyak diberi outlook negatif.
Niken Indriarsih, Kepala Divisi Pemeringkatan Korporasi Pefindo, mengungkapkan sulit untuk menaikkan rating perusahaan pada masa pandemi ini. Kalaupun ada, perusahaan tersebut berpotensi dinaikkan rating-nya ketika telah berhasil merestrukturisasi dan menyelesaikan gagal bayar sebelumnya.
“Kami lebih konservatif karena selain pandemi juga ada kondisi perlambatan ekonomi. Kami masih mencermati pertumbuhan ekonomi di kuartal III dan kuartal IV,” ujar Niken melalui konferensi pers virtual, Kamis (16/7/2020).
Kalaupun ada sektor yang masih dianggap stabil, Niken menunjuk perusahaan sektor makanan dan minuman. Adapun perusahaan di sektor ini mendapat prospek stabil karena ditopang oleh konsumsi domestik yang dominan mendorong Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Dari data Pefindo per 30 Juni 2020, terdapat 29 perusahaan yang masih mendapat outlook stabil, 28 perusahaan outlook negatif, 10 perusahaan credit watch negatif, dan 4 perusahaan tidak diumumkan.
Di tengah banyaknya revisi turun untuk peringkat maupun outlook, Niken mengatakan masih ada perusahaan yang peringkatnya dinaikkan yaitu Perumnas.
Perumnas sempat diberi rating default pada 28 April 2020 sebelum kembali ke BBB- outlook negatif pada 27 Mei 2020. Outlook negatif disematkan karena Pefindo. masih melihat kinerja perseroan selama setahun ke depan.
“Di kuartal II/2020 kami naikkan Perumas setelah melunasi utangnya yang gagal bayar,” jelas Niken.
GAGAL BAYAR
Niken menyampaikan hampir seluruh segmen industri riil merasakan imbas dari dampak negatif pandemi. Bahkan, perusahaan pedagang ritel elektronik dan properti sudah ada yang gagal bayar dan rating-nya diturunkan menjadi default.
Adapun yang menjadi perhatian Pefindo dalam merevisi peringkat dan outlook kredit dari suatu perusahaan adalah berdasarkan likuiditas dan fleksibilitas keuangan. Selama masa pandemi, sisi pendapatan perseroan banyak yang turun sementara biaya-biaya lain masih terus dibayarkan.
“Mungkin peringkat bisa diturunkan karena arus kas menurun kualitasnnya dibandingkan kondisi normal,” ungkapnya.
Di sisi lain, Niken melanjutkan, perusahaan yang mengalami penurunan kinerja tetapi masih memiliki likuiditas yang cukup berpotensi tidak diturunkan peringkatnya.
Apalagi perusahaan yang memiliki topangan dari fasilitas kredit yang belum ditarik misalnya dari perbankan. Pasalnya, hal itu dinilai bisa mengurangi potensi perusahaan tersebut mengalami gagal bayar.
Adapun, penyebab utama terjadinya gagal bayar di industri riil belakangan ini karena kondisi keuangan perusahaan yang hampir kering. Dari sisi arus kas juga mulai tertekan akibat pendapatan berkurang ditambah lagi sejumlah surat utang yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat.