Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyatakan pemerintah akan melakukan segala upaya untuk menjaga PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. dari ancaman kebangkrutan.
Erick Thohir menjelaskan saat ini 90 persen BUMN mengalami penurunan kinerja akibat pandemi Covid-19. Menurutnya, hanya BUMN di sektor perkebunan, telekomunikasi, dan pangan yang mampu menjaga kinerja.
BUMN di sektor transportasi seperti Angkasa Pura, PT KAI, dan PT Garuda Indonesia (Persero) menjadi BUMN yang paling terdampak. Sekalipun memiliki profit dari kinerja tahun lalu, pandemi benar-benar merontokkan kemampuan BUMN di sektor tersebut.
“Contohnya Kereta Api revenue drop 90 persen, profit mereka tahun kemarin Rp2,5 triliun. Tahun ini profit, tidak boleh layoff kalau BUMN. Gaji dijaga sampai akhir tahun,” katanya, Kamis (2/7/2020).
Kondisi yang sama juga terjadi pada Garuda Indonesia, bahkan lebih parah. Perusahaan ini memiliki utang dalam ukuran jumbo di tengah pendapatan yang menurun akibat pandemi Covid-19.
Namun demikian, dia menyatakan bahwa pemerintah tidak akan membiarkan Garuda Indonesia menggali kuburnya sendiri di tengah pandemi ini. Maskapai nasional itu dinilai harus tetap ada untuk menghindari monopoli industri penerbangan di Tanah Air.
Baca Juga
“Jika ditutup sekarang, akan jadi monopoli. Saya bukan anti Lion Air, mohon maaf. Tapi, kalau jadi hanya satu-satunya maskapai, jadinya monopoli,” katanya.
Jangankan membiarkan monopoli terjadi, dengan adanya Garuda Indonesia saja industri penerbangan domestik berada dalam kondisi pasar oligopoli. Kondisi ini akan lebih parah jika membiarkan maskapai tunggal menguasai pasar.
“Kemarin saja sebelum saya jadi menteri, ribut harga tiket mahal karena oligopoli. Hal inilah yang menjadi daya tarik BUMN, ketika ada persaingan tidak sehat, maka BUMN harus masuk, kadang-kadang juga harus rugi,” katanya.
Garuda Indonesia memang sedang mengalami masa sulit. Pada kuartal I/2020, dengan dampak pandemi masih minim, perseroan mencatatkan rugi bersih US$120,16 juta. Penyebabnya utamanya adalah pendapatan yang turun 30,14 persen sepanjang periode itu.
Di sisi lain, Garuda juga memiliki total utang yang cukup besar. Hingga akhir Maret, perseroan memiliki total kewajiban US$8,64 miliar. Posisi liabilitas perseroan membengkak 131,44 persen terhadap posisi liabilitas pada akhir 2019 sebesar US$3,73 miliar.
Penyebab utama hal ini terjadi adalah liabilitas jangka panjang perseroan sebesar 940,71 persen terhadap posisi akhir 2019, menjadi US$4,96 juta. Hal ini terjadi akibat liabilitas sewa pembiayaan melonjak dari US$35.340 menjadi US$3,98 miliar karena implementasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 73.
Meski begitu perseroan berhasil mendapatkan pengampunan negative covenants dan penambahan fasilitas kredit dari perbankan. Perseroan juga berhasil memperpanjang jatuh tempo utang obligasi US$500 juta hingga 3 tahun ke depan.
Namun, hal ini belum cukup untuk menjamin Garuda Indonesia tetap selamat di tengah hantaman Covid-19. Pasalnya, pandemi masih terus berlangsung dan potensi pendapatan perseroan kian menipis.
Oleh karena itu, pemerintah memasukkan Garuda Indonesia sebagai salah satu calon penerima dukungan dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Melalui program ini, pemerintah akan menyuntik perseroan dengan bantuan dana talangan untuk modal kerja sebesar Rp8,5 triliun.
Dalam dokumen paparan Kementerian Keuangan yang diperoleh Bisnis, disebutkan bahwa pemberian dana talangan diambil karena opsi penyuntikan modal sulit terjadi. Pasalnya, opsi itu tidak cukup favourable untuk pemegang saham minoritas.
Dalam dokumen yang sama, Kemenkeu menuliskan urgensi pemberian dukungan ini salah satunya adalah untuk menghindari pasar monopoli. Selain itu, Garuda juga dianggap kebanggan Indonesia sebagai maskapai nasional yang harus tetap ada.
Tertulis dalam dokumen tersebut, apabila Garuda Indonesia tidak mendapatkan dukungan maka perseroan berpotensi berhenti operasi. Hal ini juga bisa berujung pada gugatan pailit ataupun proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).