Bisnis.com, JAKARTA — Pergerakan harga minyak mentah diprediksi bakal kian memanas setelah adanya keputusan OPEC+ untuk memperpanjang pemangkasan produksi satu bulan serta sentimen pembukaan kembali ekonomi.
Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) naik 5,72 persen ke posisi US$39,55 per barel di New York Mercantile Exchange (Nymex) pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Sementara itu, harga minyak jenis Brent di Bursa ICE juga naik 5,78 persen ke posisi US$42,30 per barel.
Dikutip melalui Bloomberg, OPEC+ mencapai kesepakatan untuk memperpanjang kesepakatan selama satu bulan pada, Sabtu (6/6/2020). Para negara pengekspor minyak itu meneken perjanjian baru untuk pengurangan produksi 9,6 juta barel per hari pada Juli 2020.
Kesepakatan baru yang dicapai oleh anggota OPEC+ lebih rendah dari kesepakatan untuk Juni 2020. Sebelumnya, mereka menyetujui pemangkasan produksi 9,7 juta barel per hari.
Adapun, anggota yang belum menerapkan 100 persen pengurangan produksi sesuai kesepakatan pada Mei 2020 dan Juni 2020 akan melakukan pengurangan tambahan dari Juli 2020—September 2020 sebagai bentuk kompensasi.
Bloomberg mencatat harga minyak jenis Brent di Bursa ICE telah naik dalam enam pekan. Harga naik dua kali lipat ke level US$42,30 per barel sejak April 2020.
Baca Juga
Para pedagang tengah mengantisipasi pasokan yang menipis. Pasalnya, permintan sudah mulai pulih dari kondisi saat lockdown.
Analis Capital Futures Wahyu Laksono menilai laju harga minyak didorong fundamental yang membaik. Sentimen positif itu berasal dari harapan aktivitas pembukaan lockdown di banyak negara.
Selanjutnya, Wahyu menyebut harga minyak juga mendapat dorongan dari keputusan OPEC+. Dengan demikian, penguatan harga minyak dalam beberapa hari terakhir menurutnya terbilang wajar.
“Permintaan yang meningkat karena pembukaan kembali ekonomi serta pemangkasan produksi OPEC+ sudah lebih dari cukup sebagai fundamental yang positif,” jelasnya.
Kendati demikian, dia menilai rebound harga minyak masih akan fluktuatif atau rentan koreksi. Pasalnya, ketidakpastian ekonomi masih tinggi sebagai dampak dari penyebaran Covid-19.
“Belum lagi ancaman perang dagang Amerika Serikat dan China,” imbuhnya.
Wahyu mengatakan harga minyak berada di level wajar konsolidasi US$30 per barel hingga US$50 per barel. Menurutnya, harga di atas US$50 per barel rentan anjlok dan di bawah US$20 per barel berpeluang rebound.
Dengan demikian, dia memproyeksikan harga minyak masih berpotensi bergerak di kisaran US$20 hingga US$50 setidaknya hingga kuartal III/2020.
“Setelah kuartal III/2020 baru dilihat efek Covid-19 seperti apa. Kalau semakin baik, baru bicara kisaran US$60 per barel hingga US$70 per barel,” paparnya.
Sementara itu, dilansir melalui Bloomberg, Vice President of Energy Consulting IHS Markit Victor Shum mengatakan eksportir minyak dunia termasuk anggota OPEC + tidak menginginkan harga minyak di bawah US$30 per barel. Namun, mereka tidak memiliki konsensus tentang posisi harga yang lebih tinggi.
“Jika harga Brent bergerak ke kisaran US$40 per barel hingga US$50 per barel di sana, kemungkinan akan menjadi perbedaan kebijakan antara Arab Saudi dan Rusia,” jelasnya.