Bisnis.com,JAKARTA — PT Bursa Efek Indonesia melaporkan total rencana pembelian kembali atau buyback saham dalam kondisi lain telah mencapai Rp19,4 triliun.
Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna Setya mengatakan sebanyak 12 badan usaha milik negara (BUMN) dan 55 perusahaan swasta telah menyampaikan rencana buyback saham dalam kondisi lain hingga, Rabu (13/5/2020). Total rencana dari 67 perusahaan itu mencapai Rp19,4 triliun.
“Sejauh ini, sebesar 5,4 persen dari nilai rencana buyback kondisi lain telah dieksekusi oleh perusahaan tercatat sehingga masih tersisa dana yang siap untuk digunakan pada window period buyback kondisi lain ini sebesar 94,6 persen” ujarnya, Kamis (14/5/2020).
Nyoman mengatakan buyback dalam kondisi lain sejalan dengan Undang Undang Perseroan Terbatas dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) tahun 2013. Dengan demikian, langkah itu menurutnya penting untuk mengurangi dampak pasar yang berfluktuasi signifikan.
“Bursa dan otoritas pasar modal masih menunggu dan yakin bahwa akan semakin banyak perusahaan tercatat yang berkomitmen untuk melakukan buyback dalam kondisi lain,” imbuhnya.
Seperti diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan Surat Edaran OJK Nomor 3/SEOJK.04/2020 tanggal 9 Maret 2020. Isi dari edaran itu utamanya merelaksasi pembelian kembali atau buyback dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS).
Baca Juga
Kebijakan itu dikeluarkan oleh OJK setelah mencermati kondisi perdagangan saham di BEI sejak awal 2020 sampai dengan 9 Maret 2020 yang mengalami tekanan signifikan. Hal itu diindikasikan dengan penurunan indeks harga saham gabungan (IHSG) sebesar 18,46 persen.
Berdasarkan data BEI, IHSG sudah terkoreksi 28,35 persen secara year to date (ytd) hingga, Kamis (14/5/2020). Total kapitalisasi pasar indeks telah menguap Rp2.030,315 triliun ke level Rp5.234,695 triliun sepanjang periode berjalan 2020.
Sebelumnya, Direktur CSA Institute Aria Santoso menilai realisasi buyback masih belum maksimal karena alokasi itu bersifat sebanyak-banyaknya. Artinya, emiten dapat menggunakan dana itu hingga batas waktu tertentu namun tidak wajib dihabiskan.
Dengan demikian, Aria menyebut emiten bukan menggunakan dana itu untuk mengangkat harga saham. Akan tetapi, hanya untuk menjaga kejatuhan harga saham yang terlalu dalam.
Di sisi lain, dia menilai kebijakan auto rejection bawah (ARB) dan trading halt membantu meredakan kepanikan. Dengan demikian, saat tekanan jual berlebihan dan irasional, para investor mendapatkan jeda untuk meredakan sisi emosionalnya.
“Jelas hal ini membantu sementara kondisi sedang berada di tingkat volatilitas yang tinggi,” paparnya.