Bisnis.com, JAKARTA — Penambahan modal dengan memberikan hak memesan efek terlebih dahulu alias rights issue masih menjadi pilihan sejumlah emiten untuk meraup dana segar khususnya bagi perusahaan dengan ruang yang terbatas menarik utang di tengah pandemi COVID-19.
Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis.com, sudah ada lima emiten yang menyampaikan rencananya untuk melakukan rights issue sepanjang periode berjalan kuartal II/2020. Perusahaan-perusahaan itu dijadwalkan akan menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa dalam waktu dekat untuk mencari restu.
Emiten yang Menyampaikan Rencana PMHMETD Periode Berjalan Kuartal II/2020
Emiten | Rencana Penerbitan Saham Baru (Sebanyak-banyaknya) |
JPFA | 3,51 miliar |
IMJS | 2,88 miliar |
FINN | 2,3 miliar |
DNAR | 5 miliar |
BBYB | 1,32 miliar |
Sumber: Bursa Efek Indonesia
Baca Juga
Teranyar, dalam keterbukaan informasi di laman Bursa Efek Indonesia (BEI) Senin (11/5/2020), PT Bank Yudha Bhakti Tbk. (BBYB) baru saja menyampaikan rencananya untuk melakukan penawaran umum terbatas (PUT) III kepada para pemegang saham dalam rangka hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD).
Jumlah saham baru yang diterbitkan lewat aksi itu sebanyak-banyaknya 1,32 miliar lembar.
BBYB menetapkan harga pelaksanaan Rp300. Dengan demikian, perseroan berpeluang meraup dana sebanyak-banyaknya Rp396,11 miliar.
Selain BBYB, emiten perunggasan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. (JPFA) juga berencana melakukan rights issue. Perseroan akan mengeluarkan saham baru Seri A dalam jumlah sebanyak-banyaknya 30 persen dari jumlah saham yang telah ditempatkan dan disetor penuh saat ini atau sebanyak-banyaknya 3,51 miliar lembar.
Analis Kresna Securities Timothy Gracianov mengatakan JPFA berpeluang mendapatkan dana segar hingga Rp3,5 triliun apabila seluruh saham yang direncanakan dalam rights issue dieksekusi. Jumlah itu dengan asumsi harga pelaksanaan HMETD senilai Rp1.000.
“Jumlah itu [Rp3,5 triliun] mendekati satu tahun arus kas keluar untuk investasi senilai Rp3,2 triliun pada 2019,” ujarnya saat dimintai konfirmasi, Senin (11/5/2020).
Dia menyebut ketersediaan uang tunai perusahaan hanya Rp937 miliar apabila melihat kinerja buku 2019. Padahal, posisi utang jangka pendek dan dan utang jangka panjang yang akan jatuh tempo senilai Rp3,1 triliun.
Arus kas operasi, lanjut dia, diperkirakan hanya akan mencakup Rp1,8 triliun pada 2020. Adapun, penjualan aset lancar menurutnya saat ini akan menghabiskan biaya dan menjadi opsi terakhir.
Timothy menyebut JPFA tidak menambah utang lagi lantaran terikat dengan perjanjian. Dalam laporan keuangan 2019, perseroan harus mempertahankan fixed charge coverage ratio tidak kurang dari 2,5 kali untuk 5,5 persen surat utang senior yang akan jatuh tempo pada 2022.
“JPFA membatasi untuk meminjam lebih banyak dan untuk mengantisipasi skenario terburuk yang dapat menekan batas operasi. Dengan kata lain, untuk melindungi debtholders lain,” paparnya.
Data Penawaran Umum Hingga 5 Mei 2020
Secara terpisah, Head of Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana meyakini saat ini banyak emiten yang membutuhkan dana segar. Pilihan yang dapat ditempuh yakni berhutang atau menggalang dana di pasar modal lewat penawaran umum perdana saham (IPO) atau rights issue dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing.
“Untuk rights issue sendiri bagi perusahaan plusnya ini dana yang tidak perlu dikembalikan dengan impilikasi kepemilikan perusahaan akan berkurang bila pengendali tidak mengeksekusi haknya,” jelasnya.
Wawan mengungkapkan rights issue merupakan salah satu cara pemilik untuk menyuntikkan dana ke perusahaan. Umumnya, emiten yang melakukan aksi korporasi itu sudah memiliki pembeli siaga.
“[Pembeli siaga] baik dari pemilik atau pihak lain yang ingin masuk sebagai owner dengan demikian tergantung kepada pembeli siaga ini seberapa besar rights issue yang akan diserap,” paparnya.
Dia menilai secara umum rights issue untuk ekspansi usaha akan direspons dengan baik oleh pasar karena akan menambah nilai perusahaan. Sebaliknya, HMETD akan diterima negatif apabila digunakan untuk membayar utang.
Kinerja IHSG per 5 Mei 2020
Di lain pihak, Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy menilai saat ini merupakan momentum yang kurang tepat untuk mengeksekusi rights issue. Menurutnya, opsi ini ditempuh oleh emiten karena meminjam dari perbankan atau menerbitkan surat utang sulit mendapatkan dana yang diperlukan.
“Sehingga rights issue menjadi pilihan yang harus diambil ketika korporasi membutuhkan likuiditas,” tuturnya.
Rights issue, lanjut dia, dalam kondisi normal saja lebih sering menimbulkan sentimen negatif daripada positif. Hal itu tidak terkecuali untuk kondisi saat ini.
“Serapan akan sulit mencapai titik optimal,” imbuhnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan penghimpunan dana di pasar modal melalui penawaran umum IPO, PUT, dan emisi surat utang mencapai Rp31,88 triliun atau turun 11,9 persen secara tahunan per 5 Mei 2020.
Namun, dari sisi jumlah, OJK mencatat adanya kenaikan jumlah IPO dan penawaran umum. Tercatat, jumlah penawaran umum naik 34,2 persen secara year on year (yoy).
Budi menilai data itu sejalan dengan target yang dipasang oleh BEI. Pihaknya menyebut otoritas bursa lebih memfokuskan kepada jumlah emiten baru.
“Untuk perusahaan IPO fokusnya masih ke emiten baru bukan kepada nilainya,” ujarnya.
Sementara itu, Wawan menilai BEI mendorong perusahaan kecil dan startup untuk IPO. Dengan demikian, nilai emisi emiten yang melantai relatif kecil.