Bisnis.com, JAKARTA—Kendati sepanjang Maret 2020 lalu pasar obligasi terus melemah, instrumen surat utang dinilai masih memiliki taji sepanjang tahun tikus logam.
Tercatat, bulan lalu pasar obligasi melemah dengan indikator indeks Bloomberg Indonesia Local Sovereign Index atau BINDO turun 5,2 persen dan imbal hasil obligasi pemerintah 10-tahun naik drastis dari 6,9 persen ke level 8,4 persen.
Syuhada Arief, Senior Portfolio Manager – Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), mengatakan pasar obligasi tertekan oleh kepanikan di pasar global merespon intensitas penyebaran virus Covid-19 yang meningkat drastis.
Penyebaran virus yang meluas dinilai meningkatkan risiko pelemahan ekonomi global, terutama setelah berbagai negara menerapkan kebijakan social distancing atau bahkan lockdown yang membatasi aktivitas ekonomi.
“Kekhawatiran ini memicu panic selling secara global di mana investor mengalihkan investasinya ke aset risiko rendah atau safe haven, seperti obligasi US Treasury dan cash dolar AS,” ujar Syuhada dalam Market Update MAMI, seperti dikutip Bisnis pada Selasa (14/4/2020)
Kecemasan itu bisa tergambar dari indikator volatilitas pasar global VIX Index yang naik tajam dari 19,86 ke level tertinggi di 82,69. Level itu lebih tinggi dari puncak indeks saat krisis keuangan global pada 2008.
Baca Juga
Pasar obligasi Indonesia tidak luput dari aksi jual ini yang mana investor asing mencatat outflow besar dari pasar obligasi senilai Rp121 triliun. Ini terefleksi juga dalam Indonesia credit default swap (CDS) 5- tahun yang naik signifikan dari sekitar 60 ke level tertinggi di 292,25.
Kendati demikian, Syuhada menilai sejauh ini stimulus moneter dan fiskal yang dilakukan bank sentral dan pemerintah berhasil mendukung sentimen di pasar. Hal ini terlihat dari tingkat imbal hasil obligasi dan nilai tukar Rupiah yang mengalami stabilisasi.
“Meredanya penyebaran virus akan menjadi katalis utama yang bisa mendukung sentimen di pasar. Dengan adanya perbaikan sentimen di pasar kami optimis obligasi Indonesia akan dapat menarik investor,” tuturnya.
Saat ini, tambah dia, obligasi pemerintah Indonesia di kisaran 8,2 persen, level yang sangat atraktif untuk negara dengan peringkat rating investment grade, terutama di tengah banyaknya obligasi pemerintah dunia dengan imbal hasil mendekati 0 persen atau bahkan negatif.
Adapun, selisih (spread) imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia 10-tahun dengan UST 10-tahun saat ini di kisaran 730 basis poin, jauh lebih tinggi dari rata-rata 3 tahun di kisaran 480 basis poin, mengindikasikan valuasi obligasi Indonesia yang sangat atraktif.
“Dalam proyeksi kami apabila sentimen pasar membaik, imbal hasil obligasi pemerintah 10-tahun berpotensi untuk turun ke level 6,5 persen - 7,0 persen,” kata Syuhada.
Sementara untuk obligasi korporasi yang dibayangi oleh potensi gagal bayar, Syuhada mengatakan penting untuk menganalisa obligasi korporasi secara bottom-up karena dampak dari kondisi saat ini akan berbeda bagi setiap perusahaan penerbit obligasi. Hal itu akan tergantung pada banyak faktor seperti sektor bisnis, kondisi neraca, pendanaan, dan arus kas.
Dia mencontohkan, dampak pada emiten di sektor telekomunikasi mungkin relatif lebih terbatas karena penggunaan data yang meningkat di tengah banyaknya work from home dan social distancing. Di sisi lain, emiten yang mengandalkan pendanaan dalam dolar AS akan mengalami risiko lebih tinggi karena pelemahan Rupiah.
Syuhada menyarankan agar para investor tidak panik dalam kondisi ini. Pasalnya, koreksi pasar yang ekstrim biasanya diikuti oleh periode rebound yang cepat. Oleh karena itu kondisi koreksi seperti ini menjadi saat yang ideal bagi investor untuk membeli atau menambah investasi.
“Posisi portofolio kami saat ini sangat fluid dan dinamis dengan durasi portofolio berkisar antara slight underweight – neutral terhadap tolok ukur. Dengan strategi ini beberapa portofolio Pendapatan Tetap yang kami kelola berhasil meminimalisir koreksi sehingga berkinerja relatif lebih baik dibandingkan indeks pasar obligasi,” ujar Syuhada.
Dia juga menyebut pihaknya sangat mencermati perkembangan Covid-19 secara global dan potensi rebound di pasar obligasi apabila penyebaran virus menjadi lebih terkendali. Adapun MAMI memiliki tim analis internal yang berpengalaman dengan kualifikasi yang baik sehingga tidak bergantung dari lembaga pemeringkat eksternal seperti Pefindo dan Moodys.