Bisnis.com, JAKARTA - Kinerja PT Barito Pacific Tbk. sepanjang 2019 berhasil ditopang oleh kinerja Star Energy, entitas anak usaha di bisnis energi panas bumi, di tengah tekanan bisnis petrokimia pada tahun lalu.
Berdasarkan laporan keuangan 2019, perseroan membukukan laba periode berjalan yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk pada 2019 sebesar US$42,43 juta, lebih rendah 39,4 persen dibandingkan dengan perolehan pada 2018 sebesar US$72,22 juta.
Sejalan dengan penurunan laba itu, emiten berkode saham BRPT itu juga mencatatkan penurunan pendapatan sebesar 21,88 persen menjadi hanya sebesar US$2,4 miliar dibandingkan dengan pendapatan tahun sebelumnya sebesar US$3,07 miliar.
Direktur Utama Barito Pacific Agus Salim Pangestu mengatakan bahwa melemahnya kinerja keuangan pada tahun ini disebabkan oleh menurunnya laba entitas anak usaha PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. (TPIA) pada 2019 akibat tren pelemahan bisnis petrokima.
Namun, penurunan tersebut berhasil diimbangi oleh kinerja Star Energy yang membukukan kinerja positif pada tahun lalu. Star Energy berhasil membukukan kenaikan laba bersih hingga 13 persen menjadi sebesar US$126 juta pada 2019 dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya mencapai US$110,8 juta.
Sementara itu, TPIA membukukan penurunan laba bersih hingga 87 persen menjadi hanya sebesar US$23,6 juta pada 2019, jauh lebih rendah daripada perolehan 2018 US$182,3 juta.
Baca Juga
Agus pun mengatakan bahwa sesungguhnya perseroan telah memprediksi dan mengantisipasi tren penurunan bisnis petrokimia pada tahun lalu. BRPT terus menggenjot kontribusi pendapatan Star Energy di tengah fluktuasi bisnis petrokimia yang sangat dipengaruhi kondisi global.
Perseroan juga menerapkan program efisiensi untuk meningkatkan produksi, pengurangan pemakaian energi, dan pengurangan biaya operasi per unit.
“Kalau efisiensi, saya rasa Chandra Asri sudah cukup gold standard. Bentuk antisipasi kami dengan adanya downtrend dari bisnis petrokimia, maka kami pun sudah cadangkan likuiditas yang cukup besar,” ujar Agus saat dihubungi Bisnis.com, Senin (30/3/2020).
Perusahaan petrokimia dan energi itu, memiliki jumlah aset US$7,18 miliar per 31 Desember 2019, naik 1,9 persen dibandingkan dengan jumlah aset per 31 Desember 2018 sebesar US$7,04 miliar. Sementara itu, jumlah liabilitas perseroan sebesar US$4,42 miliar dan jumlah ekuitas sebesar US$2,75 miliar.
Adapun, sejak awal tahun ini perseroan dan entitas anak usahanya cukup aktif melakukan penggalangan dana melalui pasar modal. Pada Januari 2020, TPIA menerbitkan obligasi berkelanjutan II Tahap III Tahun 2020 sejumlah Rp750 miliar yang akan jatuh tempo pada 12 Februari 2025.
Selain itu, TPIA juga berencana untuk melakukan right issue dengan jumlah maksimal rencana pengeluaran sebesar 7,1 miliar saham dengan nilai nominal Rp200 per saham.
Lebih lanjut, belum lama ini BRPT menerbitkan obligasi berkelanjutan I Tahap II Tahun 2020 sebanyak-banyaknya sebesar Rp750 miliar dengan jumlah pokok Rp354,4 miliar yang akan terdiri dari dua seri.
Obligasi Seri A sebesar Rp217,4 miliar dengan kupon 8,6 persen per tahun dan jangka waktu 3 tahun yang jatuh tempo 1 April 2023, dan Obligasi seri B sebesar Rp135 miliar dengan kupon 9,1 persen dan jangka waktu 5 tahun yang jatuh tempo 1 April 2025.
Sisa dari jumlah pokok obligasi sebanyak-banyaknya sebesar Rp397,5 miliar akan dijamin secara kesanggupan terbaik.
Di sisi lain, perseroan memproyeksi pada tahun ini kondisi kinerja masih mengalami beberapa hambatan seiring dengan penyebaran virus corona atau COVID-19 di seluruh dunia.
Analis Panin Sekuritas Ishlah Bimo Prakoso mengatakan bahwa pada tahun ini kinerja TPIA masih akan dalam tekanan seiring dengan melemahnya permintaan akibat sentimen melemahnya ekonomi global yang dipicu pandemi COVID-19.
Dengan demikian, TPIA yang berkontribusi sebesar 78 persen dari total pendapatan keseluruhan perseroan akan kembali memberi tekanan terhadap kinerja BRPT pada tahun ini.
“Hanya mungkin tidak sampai parah tekanannya, karena ada satu hal yang menjadi cushion TPIA yaitu penurunan harga minyak yang dapat membuat COGS (Cost of Goods Sold) bisa lebih kecil lagi,” ujar Bimo saat dihubungi Bisniscom.
Sementara itu, Analis Artha Sekuritas Nugroho Rahmat Fitriyanto mengatakan bahwa dari segmen petrokimia, kinerja berpotensi mengalami normalisasi dari sisi volume walaupun terdapat dari sisi harga jual ada potensi penurunan.
Penurunan harga jual itu disebabkan potensi melemahnya harga minyak ditambah dengan cycle spread produk turunan petrokimia yang saat ini semakin kecil.
“Dengan demikian, kami melihat margin keuntungan BRPT berpotensi untuk lebih tertekan di 2020,” ujarnya.