Bisnis.com, JAKARTA – Dolar AS saat ini naik ke level tertinggi sejak 2017 seiring dengan kecenderungan investor untuk menjual semua aset lain, termasuk rupiah.
Dikutip dari Bloomberg, Investor beralih kepada greenback untuk mengantisipasi pandemi virus corona atau Covid-19 yang berkepanjangan.
Pada perdagangan Kamis (19/3/2020) pukul 12.43 WIB, indeks dolar AS (DXY) menguat 0,14 persen atau 0,137 menjadi 101,297. Harga mencapai level tertinggi sejak 14 Maret 2017, saat DXY bertengger di posisi 101,7.
DXY merupakan perbandingan greenback terhadap enam mata uang utama dunia. Besar bobot masing-masing mata uang ditentukan oleh Federal Reserve berdasarkan pengaruhnya terhadap perdagangan Amerika Serikat.
Bobot yang paling besar terhadap DXY adalah mata uang Euro (EUR) sebesar 57,6 persen, disusul yen (JPY) 13,6 persen, poundsterling (GBP) 11,9 persen, dolar Kanada 9,1 persen, krona Swedia 4,2 persen, dan franc Swiss 3,6 persen.
Pembuat kebijakan mulai dari Jepang hingga Australia pun telah bertindak untuk membendung pelemahan nilai tukar mata uangnya di pasar spot.
Baca Juga
Manajer Portofolio Nikko Asset Management Sydney Chris Rands mengatakan bahwa semua aset berisiko maupun safe haven dijual oleh investor. Mata uang Australia, Selandia Baru, dan Korea Selatan yang merupakan mata uang paling likuid di Asia Pasifik pun saat ini telah jatuh.
Pergerakan Mata Uang Asia hingga pukul 12.45 WIB, Kamis (19/3/2020)
Sumber: Bloomberg
Seluruh mata uang di kawasan Asia Pasifik mengikuti tren pelemahan mata uang di Eropa termasuk pound yang anjlok ke level terlemah dalam 35 tahun terakhir. Bahkan, tidak hanya mata uang, obligasi dan saham di seluruh dunia sudah mulai dicairkan.
“Aksi jual di pasar benar-benar gila, kami mencoba yang terbaik untuk bertahan dan melihat semua aset berada dalam tekanan sehingga saya melihat penyerbuan dolar AS tidak akan segera mereda,” ujar Chris seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (19/3/2020).
Sementara itu, rupiah terakhir bergerak di pasar spot pukul 8.04 WIB dan parkir di level Rp15.315 per dolar AS, melemah 0,61 persen atau 93 poin. Level itu merupakan terendah sejak krisis 1998.
Namun, pelemahan rupiah tidak sendiri dan terjadi bersamaan dengan dolar Australia, yang melemah 2,15 persen, won melemah 3,34 persen, dan yen terkoreksi 0,83 persen.
Aksi jual di pasar keuangan itu meningkatkan ekspektasi pasar agar pembuat kebijakan di seluruh dunia melakukan intervensi terkoordinasi di pasar valuta asing. Adapun, intervensi mata uang terakhir yang dilakukan oleh negara G7 adalah saat gempa Jepang pada 2011.
Chris Turner, analis ING, mengatakan dalam publikasi risetnya bahwa intervensi terkoordinasi dari seluruh bank sentral dunia di pasar valas mungkin akan terjadi sebagai upaya untuk menenangkan pasar yang kacau.
“Penggemar intervensi forex terbesar adalah Gedung Putih,” ujar Chris.
Untuk diketahui, sejauh ini para bank sentral telah bertindak secara independen, dengan sebagian besar tindakan mereka ditujukan untuk menyediakan likuiditas dolar dan menenangkan pasar obligasi.
The Fed telah menurunkan suku bunga sebanyak dua kali pada tahun ini hingga berada di kisaran 0-0,75 persen. Tidak hanya itu, The Fed pun an berjanji untuk membeli lebih banyak obligasi.
Baru saja, Bank of Japan menawarkan untuk membeli 1 triliun yen atau setara US$9,2 miliar obligasi dalam operasi yang tidak dijadwalkan, dan menindaklanjuti dengan penawaran untuk membeli lebih banyak.
Beberapa jam kemudian, Reserve Bank of Australia mengatakan akan membeli obligasi melintasi kurva imbal hasil untuk mengatasi dislokasi pasar.
Ekonom Shinhan Bank di Seoul Min Gyeong-won mengatakan bahwa situasi seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya ketika bank sentral lebih mudah menggelontorkan banyak stimulus dan dolar AS semakin diborong oleh pasar.
“Stimulus dari The Fed telah gagal meningkatkan kepercayaan diri pasar, malah semakin memperburuk keadaan dengan menguatkan dolar AS dan memperpanjang kerugian dalam mata uang Asia,” ujar Min Gyeong-won.
Trader CMC Markets PLC Singapura Oriano Lizza mengatakan bahwa tidak ada aset yang aman saat in. Mekanika pasar normal telah hancur dan tidak akan segera berhenti selama beberapa waktu ke depan.
“Saya mengkhawatirkan krisis likuiditas di pasar. Ini adalah aksi jual terbesar dan orang mencari dolar AS yang menjadikan greenback safe haven tertinggi saat ini,” papar Lizza.