Bisnis.com, JAKARTA - Langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam memberikan relaksasi persyaratan pelaksanaan pembelian kembali saham atau buyback menuai tanggapan beragam. Ada banyak emiten yang siap menggelar buyback dan tidak sedikit pula yang menampik maupun masih ingin melakukan kajian.
Pelonggaran pelaksanaan buyback tertuang dalam Surat Edaran OJK Nomor 3/SEOJK.04/2020 tanggal 9 Maret 2020. Isi dari edaran itu terutama melonggarkan syarat pembelian kembali saham, dari semula harus mendapat persetujuan pemegang saham lewat RUPS menjadi tidak perlu.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bergerak cepat. Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan pemerintah telah memberi lampu hijau kepada 12 perusahaan pelat merah untuk melakukan buyback.
Dia juga mengatakan bahwa keputusan mengenai besaran dan waktu pelaksanaan buyback akan ditentukan oleh masing-masing perusahaan tersebut. Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menambahkan, rencana buyback ini akan menghabiskan dana sekitar Rp7 triliun sampai dengan Rp8 triliun.
Terlepas dari kepastian aksi buyback emiten, PT Henan Putihrai Sekuritas merangkum, saat ini terdapat 36 emiten yang memiliki jumlah cash and cash equivalent atau kas dan setara kas dalam jumlah besar, mulai dari Rp5 triliun hingga Rp101 triliun. Jumlah tersebut dikutip dari laporan keuangan terakhir 36 emiten.
Baca Juga
Dengan posisi kas yang terbilang tebal, emiten tentu saja bisa leluasa memuluskan aksi buyback.
Laporan Team Analytics Henan Putihrai Sekuritas yang diterima Bisnis, Selasa (10/3/2020) menunjukkan, sebagian besar emiten yang memiliki kocek tebal berasal dari kalangan perbankan, yaitu sebanyak 16 emiten. Sebanyak 7 BUMN juga punya kas dan setara kas berkisar Rp8 triliun hingga Rp101 triliun. Selain itu, sebanyak 29 emiten dari kalangan swata juga punya kocek tidak sedikit.
Team Analytics Henan Putihrai Sekuritas mengatakan buyback saham juga memberikan sinyal bahwa harga saham di pasar saat ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai intrinsik perusahaan atau undervalue.
Berdasarkan data historis, kebijakan itu juga ampuh mengerek indeks harga saham gabungan (IHSG) pada 2013 dan 2015.
Pada Agustus 2013, posisi IHSG berada di kisaran 3.967,8 dengan penutupan akhir tahun 4.274,2. Sementara itu, pada Agustus 2015, IHSG berada di level 4.120,5 dan naik menjadi 4.593,0 saat penutupan akhir tahun.
Bahkan, Team Analytics Henan Putihrai Sekuritas mencatat IHSG masih meneruskan laju kenaikan pada tahun berikutnya.
Kondisi itu didasari logika bahwa buyback dilakukan pada momentum yang tepat pada semester II atau berdekatan dengan periode laporan keuangan akhir tahun yang pada akhirnya menghasilkan earning per share (EPS) yang lebih baik.
“Hal ini dimungkinkan karena aksi buyback tersebut sejatinya mengakibatkan berkurangnya saham beredar. Maka, ketika para investor meneliti laporan akhir tahun emiten-emiten terkait, bisa dikatakan performance mereka tidaklah seburuk yang diperkirakan, dengan demikian memicu animo beli dari saham-saham yang dianggap sudah undervalue,” tulis tim analis Henan Putihrai.