Bisnis.com, JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali terseret pelemahan bursa saham global dan melanjutkan pelemahannya pada perdagangan hari keempat berturut-turut.
Sebaliknya, rupiah mampu bangkit dari pelemahan yang dibukukan selama tujuh hari perdagangan beruntun sebelumnya dan ditutup terapresiasi saat rata-rata mata uang di Asia cenderung melemah.
Berikut adalah ringkasan perdagangan di pasar saham, mata uang, dan komoditas yang dirangkum Bisnis.com, Rabu (2/10/2019):
Bursa Global Terkapar, IHSG Ditutup Turun Lebih dari 1 Persen
Berdasarkan data Bloomberg, IHSG ditutup di level 6.055,42 dengan melorot 1,35 persen atau 82,82 poin dari level penutupan perdagangan sebelumnya.
Pada perdagangan Selasa (1/10), IHSG berakhir di level 6.138,25 dengan pelemahan 0,50 persen atau 30,85 poin, koreksi hari ketiga berturut-turut.
Menurut tim riset Samuel Sekuritas Indonesia, IHSG kembali terkoreksi mengikuti pergerakan bursa regional di tengah sejumlah sentimen negatif eksternal, di antaranya data manufaktur AS yang menambah kekhawatiran tentang ekonomi Negeri Paman Sam.
Rilis data tersebut menambah kerisauan investor yang sudah terbebani kontraksi aktivitas manufaktur di zona euro dengan laju tertajam dalam hampir tujuh tahun.
Berbanding terbalik dengan IHSG, nilai tukar rupiah berhasil bangkit dari pelemahannya dan ditutup terapresiasi 19 poin atau 0,13 persen di level Rp14.197 per dolar AS, setelah tertekan selama tujuh hari perdagangan beruntun sebelumnya.
Mata uang lainnya di Asia sebagian besar terpantau terdepresiasi relatif tipis. Won Korea Selatan memimpin dengan berakhir melemah 0,56 persen terhadap dolar AS.
Sementara itu, indeks dolar AS terpantau naik tipis 0,09 persen atau 0,086 poin ke level 99,214 pukul 18.33 WIB, setelah ditutup melemah 0,249 poin di posisi 99,128 pada perdagangan Selasa (1/10).
Dolar AS Jatuh dari Level Tertinggi Didorong Kekhawatiran Resesi AS
Pergerakan dolar AS dipengaruhi pelemahan di sektor manufaktur AS yang membuka peluang pemangkasan lebih lanjut oleh The Fed tahun ini.
Data menunjukkan sektor manufaktur AS mengalami kontraksi pada September 2019, ke level terlemah dalam lebih dari satu dekade karena kondisi bisnis memburuk di tengah ketegangan perdagangan antara AS dan China yang berlarut-larut.
Dolar AS juga tertekan oleh laporan yang menunjukkan pengeluaran konstruksi AS hampir tidak naik pada periode Agustus 2019. Kendati demikian, prospek greenback diprediksi masih tetap solid.
CPO Masih Enggan Beranjak dari Zona Merah
Berdasarkan data Bloomberg, harga minyak crude palm oil kontrak pengiriman Desember 2019 di Bursa Derivatif Malaysia ditutup melemah 1,20% atau 26,00 poin ke posisi 2.141 ringgit per ton, usai dibuka turun 0,46% atau 10,00 poin ke posisi 2.157 ringgit per ton.
Sathia Varqa, pemilik Palm Oil Analytics di Singapura, mengatakan harga sawit terdampak oleh pelemahan pada harga minyak kedelai di Chicago.
Untuk diketahui, baik minyak sawit maupun minyak kedelai merupakan kompetitor di pasar minyak nabati dunia. Kenaikan harga minyak kedelai, seringkali ikut mengerek harga saingan mereka, yaitu minyak sawit.
Harga emas Comex untuk kontrak Desember 2019 terpantau berbalik ke zona hijau dan naik 4,20 poin atau 0,28 persen ke level US$1.493,20 per troy ounce pukul 18.33 WIB.
Pada saat yang sama, indeks dolar AS yang melacak pergerakan dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama, terpantau naik tipis 0,086 poin atau 0,09 persen ke posisi 99,214, setelah ditutup melemah 0,249 poin di posisi 99,128 pada perdagangan Selasa (1/10).
Di dalam negeri, harga emas batangan Antam berdasarkan daftar harga emas untuk Butik LM Pulogadung Jakarta terpantau menanjak Rp4.000 ke Rp755.000 per gram. Harga pembelian kembali atau buyback emas Antam ikut naik Rp4.000 menjadi Rp676.000 per gram.
Menurut analis PT Monex Investindo Futures Ahmad Yudiawan potensi pelemahan dolar AS masih berpotensi menopang kenaikan harga emas menguji level resisten di US$1.483 per troy ounce.
“Kenaikan lebih tinggi dari level resisten tersebut berpotensi menopang harga emas menguji level resisten selanjutnya di US$1.487 per troy ounce hingga US$1.490 per troy ounce,” papar Yudi dalam publikasi risetnya.