Bisnis.com, JAKARTA – Saat ini, belum ada sentimen yang betul-betul bisa membakar harga minyak mentah. Pasalnya, pasar komoditas bahan bakar itu terus dibayangi sentimen negatif.
Ketidakpastian ekonomi global, perang dagang yang berlarut antara Amerika Serikat daan China, dan bertambahnya suplai minyak dari AS, diperkirakan bakal membebani harga minyak pada tahun ini.
Para petinggi di industri perminyakan global menyuarakan hal tersebut pada Konferensi Perminyakan Asia Pasifik (Asia Pacific Petroleum Conference/APPEC), di Singapura, Senin (9/9), waktu setempat, dikutip dari Reuters, Selasa (10/9).
Komentar tersebut lebih pesimis dibandingkan dengan perkiraan pada tahun lalu, ketika harga minyak diproyeksikan bertengger pada level US$100 per barel pada awal 2019.
Harga Brent sempat naik ke level tertinggi sekitar US$86 per barel pada awal Oktober 2018, tetapi kemudian terjun ke level terendah hampir US$50 per barel pada Desember tahun lalu. Sebelum akhirnya pulih ke level saat ini US$62 per barel.
Kepala Perdagangan Minyak Trafigura Ben Luckock mengatakan, harga minyak di level sekarang merupakan yang terbaik untuk tahun ini, karena trennya menurun hingga akhir tahun.
Baca Juga
Dia pun berharap, kebijakan Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization) terkait penggunaan bahan bakar rendah sulfur, bisa mengerek permintaan minyak.
“Mudah-mudahan IMO akan membantu pemulihan harga minyak pada 2020,” katanya dikutip dari Reuters, Selasa (10/9/2019).
Sebagai informasi, IMO mengeluarkan regulasi yang mewajibkan kapal-kapal pelayaran seluruh dunia menggunakan bahan bakar rendah sulfur untuk mengurangi polusi udara pada Januari 2020. Akibatnya muncul ekspektasi permintaan bahan bakar rendah sulfur bakal tinggi.
Sementara itu, sengketa dagang yang AS dan China, notabene dua konsumen teratas minyak mentah dunia, telah mereduksi harga minyak mentah dunia belakangan ini.
Kendati pada saat yang sama, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) dan sekutunya Rusia telah memangkas produksi untuk mengangkat harga.
Giovanni Serio, Kepala Riset Global di Vitol, mengatakan stabilitas harga minyak saat ini ditopang oleh berbagai sentimen. Namun, sentimen-sentimen tersebut rapuh, sehingga dapat dapat pecah sewaktu-waktu.
“Sumber kepastian menjadi lebih umum. Tetapi tak ada yang menyangkal bahwa kita hidup dalam periode ketidakpastian,” katanya.
Shunichi Tanaka, Presiden Cosmo Oil Jepang, mengatakan meskipun OPEC memotong produksi, minyak nyatanya dipasok dengan baik, menyusul produksi minyak mentah AS yang naik 1,4 juta barel per hari. Jumlah tersebut mampu menutupi peningkatan permintaan.
“Jika OPEC tidak memangkas produksi maka pasokan akan surplus. Pasokan dan permintaan minyak diperkirakan akan berkurang pada 2020 dan menekan harga minyak mentah [ke bawah],” katanya.
Revolusi serpih dan peningkatan produksi, khususnya dari lembah Permian dan Bakken, AS, telah menjadikan Negeri Paman Sam sebagai produsen minyak mentah terbesar dunia, di atas Arab Saudi dan Rusia.
Chris Midgley, Kepala Analitik di S&P Global Platts mengatakan, subtitusi bahan bakar juga turut mengurangi permintaan minyak secara keseluruhan. Misalnya, di China penyebaran 450.000 bus listrik menggantikan 240.000 barel per hari minyak mentah dari permintaan diesel.
Sementara itu, hingga pukul 15:50 WIB, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) menguat 0,36% atau 0,21 poin ke posisi US$58,06 per barel. Sementara harga minyak mentah Brent menguat 0,21% atau 0,13 poin ke posisi US$62,72 per barel.