Bisnis.com, JAKARTA – Thailand dikabarkan akan mengajukan subsidi hingga 26 miliar baht (US$849,7 juta) atau setara dengan Rp12,06 triliun untuk petani karet, dalam upaya meningkatkan pendapatan mereka.
Seperti dikutip dari Reuters, Menteri Pertanian Chalermchai Sri-on mengatakan, hal tersebut, Senin (2/9/2019).
Rencana tersebut, kemungkinan akan dipertimbangkan oleh kabinet pekan depan. Jika terealisasi, rencana itu akan menguntungkan lebih dari 1,4 juta petani dan hampir 300.000 penyadap karet antara Oktober dan September tahun depan.
“Pemerintah akan menetapkan harga dasar untuk beberapa produk karet, termasuk lembaran yang tidak diasapi, getah lateks. Petani akan dibayar selisih harganya,” kata Menteri Pertanian Thailand Chalermchai Sri-on.
Menurut perhitungan Reuters, harga baru yang dijamin sekitar 50% di atas harga pasar saat ini.
Harga karet domestik di produsen komoditas terbesar di dunia telah menderita dalam beberapa bulan terakhir karena permintaan global yang melambat, meskipun pembatasan ekspor yang bertujuan untuk mendorong harga akan berakhir pada pertengahan September.
Sementara itu, harga acuan karet global di Tokyo Commodity Exchange melemah 0,55% atau 0,90 poin ke posisi 162,00 yen per kilogram, pukul 17:00 WIB, Senin (2/9/2019).
Perang dagang yang kembali menghangat sepertinya masih menjadi sentimen negatif bagi karet. Konflik dagang antara Amerika Serikat dan China telah memicu perlambatan perekonomian global. Hal tersebut menurunkan permintaan sejumlah komoditas, termasuk karet.
Kabar terbaru dari arena perang dagang, AS dan China mulai memberlakukan tarif impor baru pada bulan ini.
Sebagaimana diketahui, AS mulai mengenakan sanksi 15% untuk berbagai barang China termasuk alas kaki, jam tangan pintar, dan televisi layar datar, pada Minggu (1/8). Sementara China memberlakukan bea masuk baru untuk minyak mentah AS, peningkatan terbaru dalam perang dagang.
Presiden AS Donald Trump mengatakan, kedua belah pihak masih akan bertemu untuk pembicaraan akhir bulan ini. Trump, menulis di Twitter, tujuan itu adalah untuk mengurangi ketergantungan AS pada China. Dia kembali mendesak perusahaan-perusahaan Amerika untuk mencari pemasok alternatif di luar China.
Retribusi Beijing sebesar 5% pada minyak mentah AS menandai pertama kalinya bahan bakar telah ditargetkan sejak dua ekonomi terbesar dunia memulai perang dagang mereka lebih dari setahun yang lalu.