Bisnis.com, JAKARTA - Meroketnya harga nikel dalam beberapa perdagangan terakhir membawa dampak baik bagi pergerakan harga sejumlah logam dasar lainnya seiring dengan meredanya sentimen sengketa perdagangan antara AS dan China.
Head of Base Metals and Battery Research Fastmarkets William Adams mengatakan bahwa rebound dalam nikel tampaknya telah mendorong beberapa pembelian di seluruh logam dasar lainnya, terutama timah.
Pada perdagangan Senin (2/9/2019) hingga pukul 18.23 WIB, harga timah di bursa London bergerak menguat 5,83% menjadi US$17.232 per ton. Sepanjang tahun berjalan 2019, timah telah menjadi logam dasar berkinerja terburuk dengan bergerak melemah 16,05%.
“Mungkin dengan Indonesia sebagai produsen timah utama, pasar khawatir bahwa pemerintah akan mengambil tindakan yang sama untuk mendukung harga timah juga, seperti apa yang dilakukan oleh nikel,” ujar Williams seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (2/9/2019).
Hal tersebut dikarenakan, selain menjadi salah satu produsen utama nikel dunia, Indonesia juga menjadi produsen terbesar kedua timah setelah China dan menjadi eksportir terbanyak di dunia.
Seperti yang diketahui, harga nikel terus meroket seiring dengan kebijakan larangan ekspor bijih nikel oleh Pemerintah Indonesia dimajukan dua tahun lebih awal dari jadwal yang sebelumnya direncanakan, yaitu dimajukan menjadi 1 Januari 2020.
Baca Juga
Selain itu, Fakta bahwa mayoritas logam dasar tampaknya tidak bereaksi negatif terhadap kenaikan tarif terbaru AS dan China yang resmi diterapkan pada awal September, menunjukkan bahwa dampak perang dagang sebagian besar telah diabaikan oleh pasar.
Oleh karena itu, pasar berharap bahwa harga dapat berbalik menguat di tengah langkah-langkah stimulus yang akan dikeluarkan China dan harapan adanya kesepakatan terkait perang dagang AS dan China.
Adapun, harga logam dasar lainnya, tembaga bergerak melemah 0,26% menjadi US$5.637 per ton, aluminium bergerak melemah 0,75% menjadi US$1.742,75 per ton, dan seng melemah 0,24% menjadi US$2.213,75 per ton.
Di sisi lain, Data manufaktur China menunjukkan hasil yang beragam dengan indeks manajer pembelian resmi (PMI) turun menjadi 49,5 dari 49,7, sedangkan PMI manufaktur Caixin naik menjadi 50,4 dari 49,9.
Dalam data Asia lainnya, PMI manufaktur Jepang pun merosot ke 49,3, dari 49,5. Indeks manufaktur yang dirilis di bawah 50, menandakan adanya kontraksi dari industri tersebut.